Indeks

Akhirnya Satelit Soviet Jatuh di Samudra Pasifik

satelit soviet

Dmarket.web.id – Pada lembaran sejarah eksplorasi luar angkasa, di antara kisah-kisah kejayaan dan penemuan ilmiah, terselip pula narasi mengenai risiko dan tantangan yang tak terhindarkan.

Salah satu aspek yang kian mendapat perhatian adalah fenomena jatuhnya kembali objek buatan manusia dari orbit ke Bumi, baik secara terkendali maupun tidak. Uni Soviet, sebagai salah satu pionir utama dalam penjelajahan antariksa, meninggalkan warisan berupa berbagai satelit dan stasiun luar angkasa yang mengorbit Bumi.

Seiring waktu, beberapa di antaranya mengakhiri misinya dengan kembali memasuki atmosfer, dan tidak jarang, Samudra Pasifik yang luas menjadi saksi bisu peristirahatan terakhir mereka.

Kisah jatuhnya stasiun luar angkasa Salyut 7 bersama dengan modul berat Kosmos 1686 pada awal tahun 1991 adalah salah satu contoh paling dramatis dan signifikan dari fenomena ini.

Peristiwa tersebut tidak hanya menandai akhir dari sebuah era dalam program luar angkasa Soviet tetapi juga menggarisbawahi kompleksitas pengelolaan objek besar di orbit dan kekhawatiran global akan potensi bahaya yang ditimbulkannya.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam perjalanan Salyut 7, dari masa kejayaannya, proses menuju kejatuhannya yang tak terkendali, hingga jejak terakhirnya yang terfragmentasi di atas langit Amerika Selatan dan akhirnya menuju perairan Pasifik, serta pelajaran berharga yang dapat dipetik dari insiden tersebut.

Era Eksplorasi Luar Angkasa Soviet dan Program Salyut: Ambisi Menggapai Bintang

Perlombaan luar angkasa selama periode Perang Dingin memacu Uni Soviet untuk mencapai berbagai tonggak sejarah, mulai dari peluncuran Sputnik, anjing Laika, hingga kosmonot Yuri Gagarin sebagai manusia pertama di luar angkasa.

Di tengah rivalitas dengan Amerika Serikat, Soviet juga memendam ambisi besar untuk membangun hunian permanen di orbit Bumi. Program Salyut, yang dimulai pada awal 1970-an, adalah manifestasi dari mimpi tersebut. Salyut berarti “Salam Hormat” atau “Kembang Api,” sebuah nama yang mencerminkan kebanggaan dan harapan.

Program ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan manusia hidup dan bekerja di luar angkasa untuk periode yang lama, melakukan observasi Bumi, penelitian astrofisika, serta eksperimen material dan biologi.

Salyut 1, diluncurkan pada 19 April 1971, menjadi stasiun luar angkasa pertama di dunia. Meskipun misi awalnya diwarnai tragedi dengan tewasnya kru Soyuz 11 saat kembali ke Bumi, program ini terus berlanjut.

Beberapa generasi stasiun Salyut kemudian diluncurkan, terdiri dari stasiun sipil (untuk penelitian ilmiah) dan stasiun militer Almaz (yang juga menggunakan designasi Salyut untuk menyamarkan tujuan sebenarnya).

Salyut 7, diluncurkan pada 19 April 1982, merupakan bagian dari generasi kedua stasiun Salyut yang lebih canggih dan modular. Stasiun ini memiliki dua dok penghubung (satu di depan dan satu di belakang), memungkinkan kunjungan lebih dari satu wahana antariksa Soyuz (untuk kru) atau Progress (untuk kargo) secara bersamaan.

Selama hampir sembilan tahun masa operasionalnya, Salyut 7 menjadi rumah bagi enam ekspedisi utama (kru residen) dan empat misi kunjungan, dengan total 10 kru yang terdiri dari 19 individu, termasuk kosmonot dari Prancis (Jean-Loup Chrétien) dan India (Rakesh Sharma), serta wanita kedua di luar angkasa, Svetlana Savitskaya, yang juga menjadi wanita pertama yang melakukan spacewalk.

Salah satu momen paling heroik dalam sejarah Salyut 7 adalah misi penyelamatan pada tahun 1985. Stasiun tersebut mengalami kegagalan sistem total dan mati di orbit.

Kosmonot Vladimir Dzhanibekov dan Viktor Savinykh melakukan misi Soyuz T-13 yang sangat berisiko, berhasil melakukan docking manual dengan stasiun yang tak berdaya, memperbaiki sistemnya dalam kondisi yang sangat sulit (dingin membeku dan tanpa daya), dan menghidupkannya kembali. Keberhasilan ini dianggap sebagai salah satu pencapaian terbesar dalam sejarah perbaikan di luar angkasa.

Kosmos 1686 (TKS-4): Modul Ekspansi dan Beban Tambahan yang Signifikan

Untuk memperpanjang masa pakai dan meningkatkan kapabilitas Salyut 7, Uni Soviet meluncurkan modul besar bernama Kosmos 1686 (juga dikenal sebagai TKS-4) pada 27 September 1985.

Wahana ini merupakan bagian dari program TKS (Transportniy Korabl Snabzheniya – Wahana Angkut Suplai), yang awalnya dirancang sebagai wahana angkut kru dan kargo berawak untuk stasiun luar angkasa militer Almaz. Namun, setelah program Almaz berawak dihentikan, TKS dimodifikasi menjadi modul kargo dan ekspansi tak berawak.

Kosmos 1686 berlabuh secara permanen dengan Salyut 7 pada 2 Oktober 1985. Modul ini memiliki panjang sekitar 13 meter dan massa hampir 20 ton, setara dengan massa Salyut 7 itu sendiri.

Dengan terhubungnya Kosmos 1686, kompleks Salyut 7-Kosmos 1686 memiliki massa total sekitar 40 ton dan panjang hampir 30 meter. Kosmos 1686 tidak hanya membawa sekitar 4.5 ton kargo dan suplai, tetapi juga dilengkapi dengan panel surya sendiri yang meningkatkan daya listrik stasiun, serta sistem propulsi yang kuat.

Modul ini juga membawa berbagai peralatan eksperimen ilmiah, termasuk peralatan observasi Bumi dan teleskop inframerah. Kehadiran Kosmos 1686 secara signifikan memperluas ruang kerja dan kemampuan penelitian di Salyut 7. Para kosmonot dapat melakukan berbagai eksperimen di dalam modul baru ini.

Menjelang Akhir Riwayat: Salyut 7 Ditinggalkan dan Harapan yang Pupus

Misi berawak terakhir ke Salyut 7 adalah Soyuz T-15, yang diluncurkan pada Maret 1986. Misi ini unik karena kru Leonid Kizim dan Vladimir Solovyov melakukan perjalanan antar-stasiun pertama dalam sejarah, berpindah dari stasiun luar angkasa baru Soviet, Mir (diluncurkan Februari 1986), ke Salyut 7, dan kemudian kembali lagi ke Mir. Selama kunjungan mereka ke Salyut 7, mereka memindahkan beberapa peralatan penting dari stasiun yang lebih tua tersebut ke Mir.

Setelah kru Soyuz T-15 meninggalkan Salyut 7 pada Juni 1986, stasiun tersebut, bersama dengan Kosmos 1686 yang masih terhubung, ditinggalkan dalam mode otomatis.

Menggunakan sistem propulsi Kosmos 1686, kompleks stasiun tersebut didorong ke orbit yang lebih tinggi, sekitar 475 km, pada Agustus 1986. Tujuannya adalah untuk menjaga stasiun tersebut tetap di orbit selama mungkin, dengan harapan dapat diambil atau dikunjungi kembali di masa depan, kemungkinan oleh program pesawat ulang-alik Soviet, Buran, yang saat itu sedang dikembangkan.

Ada spekulasi bahwa Soviet ingin mempelajari efek paparan jangka panjang lingkungan luar angkasa terhadap material stasiun atau bahkan menggunakan kembali beberapa komponennya.

Namun, program Buran mengalami penundaan dan akhirnya dibatalkan setelah hanya satu penerbangan tak berawak. Sementara itu, fokus utama program luar angkasa berawak Soviet telah beralih sepenuhnya ke stasiun Mir yang lebih modern dan modular. Salyut 7, yang semakin menua dan tanpa pemeliharaan, perlahan mulai kehilangan ketinggian orbitnya.

Kehilangan Kendali dan Prediksi Kejatuhan: Kecemasan Global Mengintai

Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, aktivitas matahari meningkat, menyebabkan atmosfer bagian atas Bumi sedikit mengembang. Hal ini meningkatkan gaya hambat atmosferik (atmospheric drag) pada objek-objek di orbit rendah, termasuk Salyut 7/Kosmos 1686. Akibatnya, laju penurunan orbit kompleks stasiun raksasa ini semakin cepat.

Pada Desember 1989, kontrol darat Soviet melaporkan bahwa mereka mulai kehilangan kendali penuh atas orientasi stasiun. Sistem telemetri utama pada Kosmos 1686 mengalami kegagalan, mempersulit upaya untuk melakukan manuver terkendali guna mengatur proses jatuhnya kembali (deorbit) ke area yang aman, seperti wilayah tak berpenghuni di Samudra Pasifik.

Dengan massa total sekitar 40 ton, Salyut 7/Kosmos 1686 menjadi salah satu objek buatan manusia terbesar yang akan jatuh kembali ke Bumi secara tidak terkendali.

Prediksi mengenai waktu dan lokasi jatuhnya menjadi sangat sulit dan berubah-ubah. Objek sebesar itu tidak akan terbakar habis di atmosfer; diperkirakan sejumlah besar fragmen dengan total massa beberapa ton akan mencapai permukaan Bumi.

Ketidakpastian ini menimbulkan kecemasan di berbagai negara. Komando Antariksa Amerika Serikat (US Space Command) dan lembaga antariksa lainnya di seluruh dunia memantau dengan cermat pergerakan Salyut 7.

Berbagai skenario jalur jatuhnya melintasi wilayah berpenduduk di berbagai benua, meningkatkan kekhawatiran akan potensi korban jiwa atau kerusakan properti. Uni Soviet saat itu menghadapi tekanan internasional untuk memberikan informasi yang akurat dan transparan mengenai situasi tersebut.

Malam Kejatuhan: Peristiwa Dramatis 7 Februari 1991

Setelah berhari-hari spekulasi dan perhitungan ulang yang menegangkan, akhir dari Salyut 7/Kosmos 1686 tiba pada malam tanggal 6 menuju 7 Februari 1991 (waktu UTC). Kompleks stasiun raksasa itu memasuki lapisan atmosfer yang lebih padat dengan kecepatan puluhan ribu kilometer per jam. Gaya gesek dan tekanan aerodinamis yang ekstrem mulai merobek dan membakar struktur stasiun.

Jalur terakhir Salyut 7 membawanya melintasi wilayah Amerika Selatan bagian selatan. Pada sekitar pukul 01:00 UTC tanggal 7 Februari, laporan mulai berdatangan dari Argentina mengenai penampakan bola-bola api spektakuler di langit malam, disertai dengan suara ledakan sonik (sonic boom).

Kota Capitán Bermúdez dan beberapa daerah lain di Provinsi Santa Fe, Argentina, menjadi saksi pecahannya stasiun tersebut. Fragmen-fragmen Salyut 7/Kosmos 1686, beberapa di antaranya berukuran cukup besar, dilaporkan menghujani wilayah tersebut.

Beruntung, tidak ada laporan korban jiwa atau cedera serius, meskipun beberapa kerusakan minor pada properti dilaporkan, seperti atap yang berlubang. Potongan-potongan logam, termasuk bagian yang diidentifikasi sebagai komponen tangki dan struktur, ditemukan tersebar di area yang relatif luas.

Setelah melintasi Argentina dan sebagian Chili, sisa-sisa inti stasiun yang masih belum hancur melanjutkan perjalanannya ke arah timur, melintasi Samudra Atlantik Selatan, lalu Samudra Hindia bagian selatan, sebelum akhirnya fragmen-fragmen terakhir diperkirakan jatuh di wilayah tak berpenghuni di Samudra Pasifik Selatan, di sebelah barat daya Selandia Baru.

Meskipun sebagian besar perhatian media terfokus pada puing-puing yang jatuh di Argentina, Samudra Pasifik kemungkinan menjadi tempat peristirahatan bagi banyak fragmen berat yang selamat dari gesekan atmosfer.

Dampak dan Respons Internasional: Antara Kelegaan dan Kritik

Jatuhnya Salyut 7 di wilayah berpenduduk, meskipun tidak menyebabkan bencana besar, memicu berbagai reaksi. Di Argentina, ada campuran antara ketakutan awal, keingintahuan, dan kemudian kelegaan karena tidak adanya korban jiwa. Pihak berwenang Argentina segera melakukan upaya pengumpulan dan analisis puing-puing.

Uni Soviet, yang saat itu berada di ambang keruntuhannya (Uni Soviet resmi bubar pada Desember 1991, hanya beberapa bulan setelah insiden ini), menghadapi kritik atas ketidakmampuannya mengendalikan jatuhnya stasiun tersebut dan kurangnya transparansi awal.

Namun, mereka juga menyatakan bahwa mereka telah melakukan upaya maksimal untuk memprediksi jalur jatuhnya dan telah memberikan peringatan kepada negara-negara yang berpotensi terdampak. Insiden ini sekali lagi menyoroti perlunya kerja sama internasional dalam melacak objek luar angkasa berbahaya dan berbagi data.

Media di seluruh dunia meliput peristiwa ini secara luas, menyoroti baik aspek dramatis maupun potensi bahaya dari sampah luar angkasa.

Meskipun Salyut 7 tidak membawa material nuklir seperti beberapa satelit Kosmos Soviet lainnya yang pernah jatuh (misalnya Kosmos 954 di Kanada pada 1978 atau Kosmos 1402 yang sebagian jatuh di Samudra Hindia dan Atlantik Selatan pada 1983), ukuran dan massa Salyut 7/Kosmos 1686 menjadikannya ancaman kinetik yang signifikan.

Samudra Pasifik sebagai “Kuburan Pesawat Luar Angkasa”: Pilihan yang Dipertimbangkan

Meskipun sebagian fragmen Salyut 7 jatuh di daratan Argentina dan sebagian lainnya mungkin berakhir di Atlantik dan Hindia, Samudra Pasifik tetap menjadi kawasan yang sering dikaitkan dengan akhir riwayat objek luar angkasa.

Secara khusus, wilayah yang dikenal sebagai South Pacific Ocean Uninhabited Area (SPOUA), atau sering disebut “Titik Nemo” atau “Kuburan Pesawat Luar Angkasa,” adalah lokasi yang paling terpencil di Bumi dari daratan mana pun.

Wilayah ini sengaja dipilih oleh berbagai badan antariksa sebagai target untuk proses controlled re-entry (jatuh kembali terkendali) bagi satelit dan stasiun luar angkasa yang telah habis masa pakainya.

Contoh paling terkenal adalah stasiun luar angkasa Mir milik Rusia (warisan Soviet), yang dengan massa lebih dari 120 ton, dijatuhkan secara terkendali ke SPOUA pada Maret 2001.

Ratusan wahana antariksa lainnya, termasuk banyak wahana kargo Progress, ATV Eropa, dan satelit-satelit lainnya, juga telah diarahkan ke area ini. Pemilihan Samudra Pasifik sebagai “kuburan” ini didasarkan pada pertimbangan keamanan untuk meminimalkan risiko terhadap populasi manusia dan properti di darat.

Insiden Salyut 7, yang jatuhnya tidak sepenuhnya terkendali, menyoroti betapa pentingnya kemampuan untuk melakukan deorbit terkendali ke area aman seperti SPOUA, terutama untuk objek-objek berukuran besar. Meskipun Salyut 7 tidak sengaja diarahkan sepenuhnya ke Pasifik, perairan ini tetap menjadi bagian dari narasi akhir lintasannya.

Pelajaran dari Salyut 7 dan Masalah Sampah Luar Angkasa yang Kian Mendesak

Peristiwa jatuhnya Salyut 7/Kosmos 1686 memberikan beberapa pelajaran penting dan berkontribusi pada meningkatnya kesadaran global akan masalah sampah luar angkasa (space debris).

  1. Risiko Objek Besar: Insiden ini menunjukkan potensi bahaya dari objek luar angkasa besar yang jatuh kembali secara tidak terkendali, bahkan jika tidak membawa material berbahaya seperti nuklir. Energi kinetik dari fragmen berat dapat menyebabkan kerusakan signifikan.
  2. Pentingnya Deorbit Terkendali: Ketidakmampuan Soviet untuk mengendalikan sepenuhnya proses deorbit Salyut 7 menekankan perlunya merancang wahana antariksa masa depan, terutama yang berukuran besar atau beroperasi di orbit rendah, dengan kemampuan untuk melakukan deorbit terkendali ke area aman atau didorong ke “orbit kuburan” (graveyard orbit) yang lebih tinggi dan stabil.
  3. Kerja Sama Internasional: Pelacakan, prediksi, dan mitigasi risiko dari jatuhnya objek luar angkasa memerlukan kerja sama internasional yang erat dalam berbagi data dan teknologi.
  4. Tanggung Jawab Negara Peluncur: Prinsip bahwa negara peluncur bertanggung jawab atas objek luar angkasa mereka, termasuk saat objek tersebut jatuh kembali ke Bumi, semakin ditegaskan. Konvensi internasional seperti Liability Convention (Konvensi Pertanggungjawaban) mengatur aspek ganti rugi jika terjadi kerusakan.
  5. Perancangan untuk Kejatuhan (Design for Demise): Insiden ini, bersama dengan kasus-kasus lain, mendorong penelitian tentang bagaimana merancang satelit agar lebih mudah terbakar habis saat memasuki kembali atmosfer, sehingga mengurangi jumlah puing yang mencapai permukaan.

Masalah sampah luar angkasa kini menjadi jauh lebih kompleks dibandingkan era Salyut 7, dengan puluhan ribu objek terlacak dan jutaan fragmen kecil yang tidak terlacak mengancam operasional satelit aktif dan misi luar angkasa berawak. Salyut 7 adalah pengingat awal dari konsekuensi jangka panjang aktivitas manusia di luar angkasa.

Kesimpulan: Gema Peringatan dari Orbit yang Hilang

Jatuhnya stasiun luar angkasa Soviet Salyut 7 bersama modul Kosmos 1686 pada Februari 1991 adalah sebuah epilog dramatis bagi salah satu program luar angkasa paling ambisius pada masanya.

Peristiwa ini tidak hanya menandai akhir fisik dari sebuah ikon teknologi Soviet tetapi juga menjadi studi kasus global tentang risiko yang terkait dengan objek besar yang kembali memasuki atmosfer Bumi secara tidak terkendali.

Jejak apinya yang melintasi langit Argentina sebelum sisa-sisanya diperkirakan bersemayam di kedalaman Samudra Pasifik menjadi pengingat visual yang kuat akan tantangan ini.

Warisan Salyut 7 lebih dari sekadar pencapaian ilmiah dan teknis selama masa operasionalnya. Akhir riwayatnya yang spektakuler turut berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang dinamika orbital, risiko sampah luar angkasa, dan pentingnya pengelolaan yang bertanggung jawab atas lingkungan orbit Bumi.

Di tengah meningkatnya aktivitas luar angkasa oleh berbagai negara dan entitas swasta, pelajaran dari Salyut 7 tetap relevan: langit di atas kita bukanlah ruang tak terbatas yang bisa menampung segalanya tanpa konsekuensi.

Pengelolaan siklus hidup objek luar angkasa, dari peluncuran hingga pembuangan akhir yang aman, adalah tanggung jawab bersama untuk memastikan keberlanjutan eksplorasi dan pemanfaatan luar angkasa bagi generasi mendatang. Kisah Salyut 7, dengan segala kejayaan dan akhir dramatisnya, akan selalu menjadi gema peringatan dari orbit yang telah lama hilang.

Exit mobile version