Dmarket.web.id – Pada bulan Juni 2025, ribuan pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan melakukan demonstrasi besar-besaran. Aksi ini bukanlah yang pertama, tetapi skala dan semangatnya membuatnya berbeda.
Mereka menuntut keadilan ekonomi dan revisi kebijakan perusahaan platform yang dinilai eksploitatif. Demo ini merupakan akumulasi dari kekecewaan selama bertahun-tahun terhadap sistem kemitraan yang dianggap timpang dan tidak manusiawi.
Sejak booming ekonomi digital di Indonesia pasca-2015, ojol telah menjadi tulang punggung transportasi dan logistik perkotaan. Namun, meski dianggap sebagai pahlawan ekonomi digital, para mitra pengemudi merasa bahwa mereka tak lebih dari “pekerja informal tanpa perlindungan”.
Mereka menilai bahwa perusahaan teknologi seperti Gojek dan Grab lebih fokus pada profit dan ekspansi daripada kesejahteraan mitranya.
Pemicu Demonstrasi: Pemotongan Insentif dan Algoritma Baru
Demo besar yang terjadi pada Juni 2025 dipicu oleh keputusan sepihak perusahaan platform untuk mengubah skema insentif, termasuk menurunkan tarif dasar per kilometer dari Rp2.300 menjadi Rp1.800.
Selain itu, perusahaan memperkenalkan algoritma distribusi order baru yang membuat pengemudi harus bekerja lebih lama untuk mendapatkan jumlah pesanan yang cukup demi mencapai target insentif harian.
“Sekarang kami kerja 12 jam belum tentu dapat Rp150.000,” keluh Ari Santoso, seorang pengemudi dari Depok. “Dulu 8 jam kerja bisa bawa pulang Rp200.000. Sekarang bahkan bensin saja gak nutup.”
Ketidakjelasan skema algoritma ini membuat banyak pengemudi merasa sistem tidak transparan dan menurunkan peluang kerja secara adil. Hal ini diperparah dengan meningkatnya jumlah mitra baru yang terus direkrut perusahaan tanpa batasan, menambah persaingan di antara pengemudi sendiri.
Skala Aksi: Ribuan Pengemudi Penuhi Jalanan Jakarta dan Kota Besar
Pada 5 Juni 2025, lebih dari 10.000 pengemudi ojol melakukan konvoi dan memadati ruas-ruas jalan utama di Jakarta, termasuk Jalan Sudirman, Medan Merdeka, dan sekitar Gedung DPR/MPR RI. Aksi serupa juga terjadi di Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, dan Makassar.
Massa membawa spanduk bertuliskan “Ojol Bukan Robot”, “Tolak Algoritma Baru”, dan “Kami Mitra Bukan Budak”. Demonstrasi ini berlangsung tertib, namun menyebabkan kemacetan parah di beberapa titik pusat kota.
Polisi terlihat berjaga dan mengawal jalannya aksi dengan pendekatan persuasif, meskipun di beberapa lokasi terjadi bentrokan kecil antara pengemudi dan aparat karena penutupan akses jalan.
Koordinator aksi dari Aliansi Ojol Nusantara (AON), Reza Firmansyah, menyatakan bahwa demo ini adalah bentuk kekecewaan terhadap pengabaian aspirasi pengemudi. “Kami sudah kirim surat, audiensi, tapi tidak direspon. Sekarang waktunya suara kami didengar,” ujarnya di depan Gedung DPR.
Tuntutan Utama Para Pengemudi ojol
Demo ini membawa enam tuntutan utama yang diajukan kepada pemerintah dan perusahaan platform:
-
Kenaikan Tarif Dasar – Pengemudi menuntut tarif dasar dinaikkan kembali minimal menjadi Rp2.500 per km agar pendapatan tetap layak, mengingat kenaikan harga BBM dan biaya operasional lainnya.
-
Transparansi Algoritma – Mereka mendesak perusahaan membuka skema dan logika algoritma distribusi order secara terbuka, agar tidak terjadi ketimpangan dalam distribusi pesanan.
-
Pembatasan Rekrutmen Mitra Baru – Untuk menjaga keseimbangan antara jumlah pengemudi dan permintaan pasar, para demonstran meminta adanya kuota mitra di tiap kota.
-
Asuransi dan Jaminan Sosial – Mereka juga menuntut adanya jaminan BPJS Ketenagakerjaan yang dibayarkan bersama oleh pengemudi dan perusahaan.
-
Status Hukum Kemitraan – Para pengemudi meminta klarifikasi atas status hukum kemitraan, apakah mereka pekerja lepas atau bagian dari perusahaan, agar bisa menuntut hak secara hukum.
-
Dialog Rutin dan Perwakilan Mitra – Tuntutan terakhir adalah agar perusahaan wajib melakukan dialog rutin dengan perwakilan mitra pengemudi secara legal dan formal.
Respons Perusahaan: “Kami Akan Evaluasi”
Perusahaan platform utama seperti Gojek dan Grab merespons dengan menyatakan bahwa mereka akan mengevaluasi ulang kebijakan terbaru. Namun, mereka tetap menekankan bahwa skema algoritma bersifat dinamis dan disesuaikan dengan efisiensi dan kebutuhan pasar.
Dalam pernyataan resminya, Gojek menyatakan, “Kami mendengarkan aspirasi mitra kami dan berkomitmen untuk mencari solusi terbaik. Namun, kami juga harus mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem secara keseluruhan.”
Sementara itu, Grab menyebutkan bahwa sistem baru bertujuan meningkatkan kualitas layanan dan memastikan permintaan pelanggan terpenuhi dengan cepat. Mereka juga berjanji akan mengkaji ulang kebijakan tarif dalam waktu dekat.
Sayangnya, pernyataan ini dianggap para pengemudi sebagai bentuk penundaan dan tidak mencerminkan keseriusan perusahaan. “Kami sudah sering dengar janji-janji seperti ini. Nyatanya, pengemudi terus ditekan dan disalahkan,” ujar Dedi, seorang pengemudi asal Bekasi.
Sikap Pemerintah: Antara Mendengar dan Menengahi
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan akan memanggil perusahaan platform dan perwakilan pengemudi untuk duduk bersama dalam forum tripartit. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyampaikan bahwa pemerintah memahami keresahan mitra ojol dan akan meninjau regulasi yang ada.
“Kami tidak bisa membiarkan konflik antara mitra dan perusahaan terus membesar. Akan ada pembahasan intensif mengenai status kemitraan, tarif, dan perlindungan sosial,” katanya di hadapan media.
Namun, pengemudi menilai langkah pemerintah terlalu lambat dan tidak konkret. Beberapa bahkan menuding bahwa pemerintah terlalu dekat dengan kepentingan korporasi digital. Kepercayaan terhadap pemerintah dalam isu ini memang menjadi tantangan tersendiri karena selama bertahun-tahun tidak ada regulasi yang benar-benar melindungi ojol secara sistemik.
Isu Status Hukum ojol : Mitra atau Karyawan?
Salah satu persoalan mendasar yang memicu demonstrasi ini adalah status hukum para pengemudi ojol. Saat ini, mereka dianggap sebagai “mitra” perusahaan, bukan karyawan tetap, sehingga perusahaan tidak berkewajiban memberikan gaji tetap, asuransi, atau jaminan sosial.
Namun, dalam praktiknya, banyak aturan perusahaan yang bersifat koersif, seperti pemutusan kemitraan sepihak, sanksi karena tidak menerima order tertentu, dan sistem penilaian yang merugikan. Hal ini menciptakan hubungan kerja yang asimetris.
Dalam wawancara dengan pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Prof. Sri Wahyuni, dijelaskan bahwa, “Status mitra ini seharusnya bersifat sejajar. Tapi yang terjadi adalah kontrol dominan dari perusahaan terhadap mitra, bahkan bisa dibilang seperti hubungan majikan dan pekerja tanpa kontrak kerja yang sah.”
Peran Media Sosial: Mobilisasi dan Solidaritas Digital
Demo Juni 2025 juga memperlihatkan betapa kuatnya peran media sosial dalam mengorganisir aksi massa. Melalui platform seperti WhatsApp, Telegram, dan TikTok, para pengemudi menyebarkan informasi aksi, peta lokasi kumpul, hingga testimoni ketidakadilan.
Tagar seperti #OjolBergerak, #MitraBukanBudak, dan #AlgoritmaToxic sempat menjadi trending topic nasional. Banyak warganet ikut bersimpati terhadap perjuangan ojol, sementara sebagian lainnya merasa terganggu karena demo menyebabkan kemacetan dan terganggunya layanan pengantaran.
Sejumlah tokoh publik dan influencer pun ikut angkat suara. Aktivis sosial seperti Tsamara Amany dan Ade Armando menyuarakan dukungan kepada para ojol melalui media sosial, menyerukan agar perusahaan tidak semena-mena dalam kebijakan ekonomi digital.
Dampak Ekonomi dan Sosial: Ketergantungan Publik pada Ojol
Demo ini berdampak langsung terhadap aktivitas harian masyarakat. Layanan antar makanan, logistik kilat, dan transportasi terganggu secara signifikan. Banyak pelanggan mengeluh karena pesanan tertunda atau dibatalkan.
Namun, kejadian ini juga membuka mata banyak orang akan betapa pentingnya peran ojol dalam sistem ekonomi perkotaan. Dalam sehari, jutaan transaksi makanan, barang, dan jasa berputar berkat kerja keras para pengemudi ojol.
Jika tuntutan mereka terus diabaikan, bukan tidak mungkin akan terjadi penurunan kualitas layanan atau bahkan aksi mogok massal yang bisa melumpuhkan logistik mikro di kota-kota besar.
Langkah Selanjutnya: Aksi Lanjutan atau Dialog?
Aliansi Ojol Nusantara telah mengumumkan bahwa jika dalam waktu dua minggu tidak ada respons konkret dari perusahaan dan pemerintah, maka akan dilakukan aksi lanjutan dengan skala yang lebih besar, termasuk mogok nasional.
“Kami siap turun ke jalan lagi. Kami tidak takut. Ini bukan hanya soal tarif, tapi soal martabat,” tegas koordinator aksi, Reza.
Di sisi lain, beberapa komunitas pengemudi yang lebih moderat berharap bahwa aksi ini bisa menjadi titik awal dialog produktif antara semua pihak. Mereka menekankan pentingnya penyelesaian damai agar tidak menambah kerugian sosial dan ekonomi bagi pengemudi sendiri.
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Keadilan Digital ojol
Demo ojol Juni 2025 merupakan cermin dari kompleksitas ekonomi digital yang tumbuh lebih cepat dari regulasi dan perlindungan pekerja. Di balik kemudahan layanan digital yang kita nikmati, ada ribuan pengemudi yang bekerja keras dan berharap hidup lebih layak.
Tanpa kejelasan hukum, transparansi algoritma, dan niat baik dari perusahaan, maka akan terus ada ketegangan antara perusahaan digital dan para mitranya.
Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran bahwa transformasi digital tidak boleh hanya menguntungkan korporasi, tapi juga harus memberi ruang keadilan bagi para pelaku di garis depan—mereka yang setiap hari mengaspal demi menghidupi keluarga.