Indeks
Berita  

Memahami Sistem HGB Dan SHM Tanah Indonesia

HGB Dan SHM

Dmarket.web.id – Sistem pertanahan di Indonesia diatur secara resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Undang-undang ini menjadi landasan hukum yang mengatur berbagai jenis hak atas tanah, termasuk dua di antaranya yang paling sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, yaitu Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).

Kedua jenis hak ini memiliki implikasi hukum, nilai ekonomis, serta durasi kepemilikan yang berbeda. Pemahaman yang jelas tentang perbedaan HGB dan SHM sangat penting, khususnya bagi masyarakat yang ingin membeli atau menjual properti, karena akan menentukan status legal tanah dan bangunan yang dimiliki.

Meski keduanya sah secara hukum, perbedaan mendasar antara HGB dan SHM menjadikannya dua instrumen yang berbeda dalam konteks kepemilikan properti.

Pengertian HGB dan SHM

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak yang diberikan kepada individu atau badan hukum untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri untuk jangka waktu tertentu.

HGB memiliki jangka waktu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun atau diperbaharui kembali sesuai kebijakan pemerintah. HGB umumnya diberikan di atas tanah negara atau tanah dengan status Hak Pengelolaan (HPL). Karena itu, pemilik HGB tidak memiliki kepemilikan penuh atas tanah yang ditempati.

Sebaliknya, Sertifikat Hak Milik (SHM) merupakan bentuk kepemilikan tanah yang paling kuat dan penuh di Indonesia. SHM hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan memberikan kepemilikan permanen terhadap tanah tanpa batas waktu selama tidak ada pelanggaran hukum.

SHM mencakup hak penuh untuk menggunakan, menjual, mewariskan, atau menyewakan tanah tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena itulah, SHM dianggap sebagai bentuk hak atas tanah yang paling diinginkan dalam transaksi properti.

Perbedaan Status Kepemilikan

Salah satu perbedaan paling mendasar antara HGB dan SHM adalah status kepemilikannya. SHM memberikan hak penuh atas tanah kepada pemiliknya, sementara HGB hanya memberikan hak kepada seseorang untuk menggunakan tanah dalam jangka waktu tertentu tanpa memiliki tanah tersebut secara permanen.

Dalam konteks HGB, tanah yang digunakan tetap menjadi milik negara atau badan hukum pemilik HPL. Artinya, setelah masa HGB habis dan tidak diperpanjang, hak atas tanah dapat kembali kepada negara. Tentu ini merupakan salah satu perbedaan antara HGB dan SHM.

SHM memberikan kebebasan mutlak kepada pemilik untuk memanfaatkan tanah secara maksimal tanpa khawatir batas waktu. Hal ini menjadikan SHM sebagai bentuk kepemilikan yang paling menguntungkan dari sisi investasi dan perlindungan hukum.

Dalam proses jual beli rumah, properti dengan status SHM lebih diminati dan biasanya memiliki nilai pasar yang lebih tinggi dibandingkan properti dengan status HGB.

Perbedaan Subjek Pemilik HGB dan SHM

Perbedaan lainnya terletak pada siapa yang boleh memiliki masing-masing hak ini. SHM hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Oleh karena itu, Warga Negara Asing (WNA) tidak diperbolehkan memiliki tanah dengan status SHM, sesuai dengan prinsip penguasaan tanah oleh negara sebagaimana tercantum dalam UUPA. Hal ini dilakukan untuk menjaga kedaulatan nasional atas kepemilikan tanah di Indonesia.

Sebaliknya, HGB dapat dimiliki oleh WNI maupun badan hukum, termasuk badan hukum asing yang terdaftar di Indonesia. Oleh karena itu, bagi WNA yang ingin memiliki properti di Indonesia, biasanya akan mendapatkan status HGB atas tanah tempat bangunan berdiri.

Meskipun demikian, pengaturan HGB tetap memberikan batasan waktu dan pembaruan yang bergantung pada izin pemerintah.

Durasi Kepemilikan HGB dan SHM

Durasi kepemilikan menjadi salah satu aspek penting dalam perbedaan antara HGB dan SHM. SHM bersifat tidak terbatas waktu, selama pemiliknya tidak melanggar hukum atau tidak mengalihkan kepemilikan. Ini berarti selama seseorang masih hidup atau memiliki ahli waris yang sah, hak milik atas tanah tetap berlaku dan dapat diwariskan.

Sebaliknya, HGB memiliki durasi tertentu, yaitu maksimal 30 tahun, dengan opsi perpanjangan selama 20 tahun. Setelah masa tersebut habis, pemilik HGB harus mengajukan pembaruan atau perpanjangan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jika perpanjangan tidak dilakukan atau tidak disetujui, maka hak atas tanah kembali kepada pemilik asal, yang dalam banyak kasus adalah negara.

Nilai Ekonomis HGB dan SHM

Properti dengan status SHM umumnya memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan properti dengan status HGB. Hal ini disebabkan karena SHM menjamin kepemilikan penuh dan tidak terbatas waktu, sehingga memberikan rasa aman yang lebih tinggi bagi pembeli.

SHM juga lebih mudah dijadikan agunan atau jaminan dalam transaksi keuangan, seperti pengajuan pinjaman ke bank.

Sementara itu, properti dengan status HGB sering kali mengalami depresiasi nilai karena adanya keterbatasan waktu hak guna. Bank pun biasanya lebih selektif dalam menerima HGB sebagai jaminan. Oleh karena itu, dalam perspektif investasi, SHM lebih disukai karena nilainya cenderung lebih stabil dan meningkat seiring waktu.

Proses dan Biaya Perolehan

Proses perolehan SHM dan HGB juga berbeda, terutama dari sisi birokrasi dan biaya. Untuk mendapatkan SHM, seseorang harus membeli tanah dengan status hak milik atau melakukan peningkatan hak dari HGB menjadi SHM.

Proses peningkatan hak ini melibatkan biaya yang cukup besar, seperti BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan biaya notaris.

Sementara itu, perolehan HGB biasanya lebih mudah dan murah karena umumnya diberikan di atas tanah milik negara. Namun, HGB tetap membutuhkan pembaruan secara berkala. Selain itu, untuk tanah HGB yang digunakan oleh perusahaan, terdapat kewajiban membayar retribusi tahunan kepada pemerintah daerah sebagai bentuk pemanfaatan lahan negara.

Proses Peningkatan HGB ke SHM

Meskipun HGB bukan kepemilikan penuh, masyarakat bisa mengubah statusnya menjadi SHM melalui proses peningkatan hak. Syarat utama adalah pemilik harus merupakan WNI, dan tanah tersebut bukan berada di atas Hak Pengelolaan (HPL) atau milik negara secara langsung.

Proses peningkatan hak melibatkan permohonan resmi ke kantor pertanahan setempat dan biasanya disertai dengan dokumen seperti akta jual beli, IMB, dan bukti pembayaran pajak.

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua tanah HGB dapat ditingkatkan menjadi SHM. Jika tanah tersebut berdiri di atas HPL atau digunakan untuk kepentingan tertentu seperti kawasan industri, maka kemungkinan besar statusnya tidak dapat diubah. Oleh karena itu, sebelum membeli properti dengan HGB, penting untuk mengecek status tanah dan kemungkinan peningkatan haknya.

Perbedaan Penggunaan dalam Dunia Usaha

Dalam praktiknya, HGB lebih banyak digunakan dalam sektor bisnis dan perumahan skala besar. Banyak pengembang perumahan atau perusahaan properti membangun rumah, apartemen, atau kawasan komersial di atas tanah dengan status HGB karena prosesnya lebih mudah dan lebih ekonomis.

Setelah proyek selesai dan dijual ke konsumen, pemilik bisa mengurus peningkatan status menjadi SHM jika memungkinkan. Para pembeli harus benar benar memahami perbedaan antara HGB dan SHM.

Sebaliknya, SHM lebih umum dimiliki oleh individu sebagai tempat tinggal pribadi atau tanah warisan keluarga. Kepemilikan SHM memberikan keleluasaan penuh untuk menggunakan lahan sesuai keinginan pemilik tanpa keterikatan waktu dan tanpa kewajiban untuk memperpanjang izin.

Oleh karena itu, properti SHM lebih ideal untuk penggunaan jangka panjang dan investasi turun-temurun.

Perlindungan Hukum HGB dan SHM

Dari sisi perlindungan hukum, SHM memberikan jaminan tertinggi karena merupakan bentuk kepemilikan absolut atas tanah. Pemilik SHM dapat menggugat siapa pun yang menyerobot tanahnya dan memiliki kedudukan kuat di mata hukum. Dokumen SHM yang sah dan terdaftar di BPN juga memperkuat posisi pemilik saat terjadi sengketa pertanahan.

Sebaliknya, HGB memiliki perlindungan hukum yang lebih terbatas. Jika terjadi konflik atau jika pemerintah memutuskan untuk mengambil kembali lahan atas dasar kepentingan umum setelah masa berlaku HGB habis, pemilik tidak dapat menolak dengan kekuatan hukum sekuat SHM. Ini menunjukkan bahwa SHM jauh lebih aman secara hukum dalam jangka panjang.

Kesimpulan: Memilih Antara HGB dan SHM

Memilih antara HGB dan SHM tergantung pada kebutuhan dan tujuan kepemilikan tanah. Jika seseorang ingin memiliki properti secara penuh, untuk ditinggali atau diwariskan dalam jangka panjang, maka SHM adalah pilihan terbaik. SHM menawarkan kepemilikan mutlak, perlindungan hukum maksimal, serta nilai investasi yang lebih tinggi.

Namun, jika tujuannya bersifat komersial atau jangka pendek—misalnya membangun kantor, apartemen sewa, atau bisnis—maka HGB bisa menjadi pilihan ekonomis dan praktis. HGB memberikan fleksibilitas dalam penggunaan lahan tanpa perlu biaya besar di awal, meskipun dengan risiko pembaruan hak di masa depan.

Dalam banyak kasus, pengembang memulai dengan HGB dan kemudian menyerahkan kepada pembeli untuk mengurus peningkatan hak ke SHM. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami status hak tanah sebelum membeli properti, serta memahami prosedur hukum jika ingin mengubah HGB menjadi SHM.

Kewaspadaan dan pemahaman terhadap perbedaan ini akan menghindarkan pembeli dari kesalahan atau kerugian dalam transaksi properti dengan sistem HGB dan SHM.

Exit mobile version