Dmarket.web.id –Konflik yang selama beberapa dekade membara di bawah permukaan sebagai “perang bayangan” antara Israel dan Iran telah meledak menjadi konfrontasi militer terbuka dan brutal pada pertengahan Juni 2025.
Tahun ini akan tercatat dalam sejarah sebagai periode di mana serangan siber, operasi rahasia, dan perang proksi tidak lagi cukup. Kedua negara kini terlibat dalam siklus serangan dan pembalasan langsung yang menghancurkan, menarik perhatian dan kekhawatiran global, serta secara dramatis mengubah lanskap geopolitik Timur Tengah.
Eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya ini dipicu oleh serangan pendahuluan Israel terhadap fasilitas-fasilitas strategis Iran, yang kemudian dibalas dengan rentetan rudal balistik oleh Teheran.
Artikel ini akan membedah fakta-fakta terbaru dari perang yang kini berkecamuk, dengan fokus pada pemicu dan skala serangan, peran krusial program nuklir, keterlibatan kekuatan eksternal, dan upaya diplomasi yang genting di tepi jurang kehancuran.
Dari Serangan Pendahuluan ke Perang Udara Skala Penuh
Titik balik dari perang bayangan menjadi konflik terbuka terjadi pada hari Jumat, 13 Juni 2025. Israel, dengan alasan untuk melumpuhkan ancaman eksistensial, melancarkan serangan udara besar-besaran dengan sandi “Operation Rising Lion” yang menargetkan lebih dari 12 lokasi di Iran.
Target utama serangan ini adalah fasilitas yang berkaitan dengan program nuklir dan pengembangan rudal Iran. Laporan intelijen dan konfirmasi dari pihak Israel menyebutkan serangan ini berhasil mengenai situs-situs kunci, termasuk fasilitas pengayaan uranium dan pusat penelitian militer. Serangan ini segera memicu respons keras dari Iran.
Teheran tidak tinggal diam. Garda Revolusi Iran (IRGC) membalas dengan meluncurkan beberapa gelombang serangan yang melibatkan ratusan drone dan rudal balistik.
Kota-kota di Israel seperti Tel Aviv, Haifa, Bat Yam, dan Yerusalem menjadi sasaran. Meskipun Israel memiliki sistem pertahanan udara canggih, skala serangan yang masif menyebabkan beberapa rudal berhasil menembus dan mengakibatkan korban sipil serta kerusakan infrastruktur.
Hingga 23 Juni, kedua belah pihak terus bertukar serangan. Israel dilaporkan menargetkan pangkalan udara dan lokasi peluncuran rudal Iran untuk melumpuhkan kemampuan ofensif Teheran, sementara Iran terus melancarkan serangan balasan ke wilayah Israel.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perang ini telah menjadi perang atrisi di udara, di mana kedua negara berusaha saling melemahkan kapasitas militer masing-masing.
Program Nuklir sebagai Jantung Konflik
Akar dari eskalasi dramatis ini tidak bisa dilepaskan dari program nuklir Iran. Bagi Israel, prospek Iran memiliki senjata nuklir adalah sebuah “garis merah” mutlak. Serangan awal pada 13 Juni secara eksplisit menargetkan infrastruktur nuklir Iran.
Tragisnya, serangan ini dilaporkan menewaskan sejumlah ilmuwan nuklir senior Iran, sebuah kerugian besar bagi program riset negara tersebut. Namun, eskalasi mencapai level yang lebih berbahaya ketika Amerika Serikat, sekutu utama Israel, dilaporkan ikut terlibat.
Pada hari Minggu, 22 Juni 2025, AS dilaporkan melancarkan serangan yang dinamai “Operation Midnight Hammer” yang menargetkan tiga fasilitas nuklir utama Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Keterlibatan langsung AS ini secara drastis meningkatkan pertaruhan dan mengubah dinamika konflik. Iran merespons dengan keras, mengutuk serangan tersebut sebagai pelanggaran kedaulatan yang brutal dan menegaskan bahwa tindakan agresi ini tidak akan menghentikan program nuklir mereka.
Sebaliknya, beberapa pejabat Iran justru menyiratkan bahwa tekanan militer ini hanya akan mendorong Teheran untuk mempercepat upaya persenjataan nuklirnya sebagai satu-satunya jaminan keamanan.
Dengan demikian, program nuklir yang menjadi alasan utama serangan Israel kini justru menjadi pusat eskalasi yang mengancam stabilitas seluruh kawasan.
Peran Proksi dan Keterlibatan Kekuatan Global
Meskipun fokus utama saat ini adalah serangan langsung, peran proksi Iran di kawasan tetap menjadi faktor penting. Hizbullah di Lebanon, yang sebelumnya terlibat dalam perang skala rendah dengan Israel, menyatakan bahwa mereka “tidak netral” dalam konflik ini.
Kelompok tersebut mengindikasikan kesiapan untuk bertindak melawan apa yang mereka sebut sebagai “agresi brutal Israel-Amerika”, membuka kemungkinan front kedua yang sangat berbahaya di perbatasan utara Israel.
Di selatan, kelompok Houthi di Yaman juga telah menyuarakan ancaman, khususnya terhadap aset-aset maritim AS dan sekutunya di Laut Merah jika keterlibatan mereka dalam agresi terhadap Iran terus berlanjut.
Di panggung global, keterlibatan langsung AS telah memicu reaksi beragam. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengecam keras serangan AS dan Israel, mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk segera bertindak demi mencegah bencana kemanusiaan yang lebih luas.
Negara-negara Eropa berada dalam posisi sulit, terjebak antara aliansi mereka dengan AS dan kekhawatiran akan perang regional besar yang dapat memicu krisis pengungsi dan guncangan ekonomi global, terutama pada harga minyak.
Sementara itu, kekuatan seperti China dan Rusia menyerukan de-eskalasi, dengan China bahkan menawarkan diri untuk menjadi mediator, melihat peluang untuk meningkatkan pengaruh diplomatiknya di tengah krisis yang melibatkan rival utamanya, Amerika Serikat.
Upaya Diplomasi yang Terancam Gagal
Di tengah dentuman ledakan, suara diplomasi nyaris tak terdengar. Sebelum serangan besar-besaran terjadi, dilaporkan ada upaya perundingan nuklir yang akan digelar di Oman antara Iran dan AS.
Namun, serangan Israel secara efektif menyabotase proses tersebut. Saat ini, ruang untuk dialog sangat sempit. Menteri Luar Negeri Iran menyatakan bahwa Teheran membuka diri untuk diplomasi, namun dengan syarat mutlak bahwa agresi militer terhadap negaranya harus dihentikan sepenuhnya.
Sebaliknya, para pemimpin Israel menegaskan bahwa mereka siap untuk perang jangka panjang demi menjamin keamanan negaranya.
Kepala Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, telah memperingatkan Dewan Keamanan PBB tentang konsekuensi bencana dari serangan yang terus-menerus terhadap fasilitas nuklir.
Dunia internasional, termasuk Indonesia, mendorong semua pihak untuk menahan diri dan kembali ke meja perundingan. Namun, dengan tingkat permusuhan yang begitu tinggi dan keterlibatan langsung kekuatan besar seperti AS, jalan menuju de-eskalasi tampak terjal dan penuh rintangan.
Setiap jam yang berlalu tanpa gencatan senjata meningkatkan risiko kesalahan perhitungan yang dapat menyeret seluruh Timur Tengah ke dalam perang yang jauh lebih besar dan lebih merusak.
Kesimpulan: Masa Depan Tak Pasti di Tengah Perang Terbuka
Fakta-fakta terbaru dari perang Israel-Iran pada Juni 2025 melukiskan gambaran yang suram. Konflik telah berevolusi dari perang bayangan menjadi perang udara terbuka yang saling menghancurkan, dengan puluhan hingga ratusan korban di kedua belah pihak.
Program nuklir Iran, yang menjadi pemicu, kini menjadi pusat gravitasi eskalasi yang melibatkan Amerika Serikat secara langsung. Medan perang tidak lagi terbatas pada serangan rudal, tetapi juga mencakup ancaman dari proksi regional dan pertarungan diplomatik di panggung dunia.
Saat ini, Timur Tengah berada dalam keseimbangan yang sangat rapuh. Upaya diplomatik terus berjalan di latar belakang, namun terhalang oleh realitas perang di lapangan.
Masa depan kawasan ini kini bergantung pada apakah para pemimpin di Tel Aviv, Teheran, dan Washington dapat menemukan jalan keluar dari siklus kekerasan ini sebelum api konflik melahap segalanya.