Fenomena Pajak Progresif Kendaraan Indonesia

pajak progresif

Dmarket.web.id – Pajak progresif kendaraan merupakan jenis pungutan yang dikenakan kepada pemilik kendaraan bermotor berdasarkan jumlah kendaraan yang dimiliki atas nama yang sama dan/atau alamat yang sama.

Semakin banyak kendaraan yang terdaftar atas satu nama atau alamat, maka tarif pajaknya akan semakin tinggi. Di Indonesia, sistem pajak ini diterapkan oleh pemerintah daerah, khususnya di wilayah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan beberapa provinsi lainnya sebagai upaya menekan laju pertumbuhan kendaraan bermotor serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kepemilikan kendaraan yang bertanggung jawab.

Dasar hukum penerapan pajak progresif diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta diperkuat oleh regulasi turunannya seperti Peraturan Daerah (Perda) masing-masing provinsi.

Skema tarifnya bervariasi, namun secara umum pajak kendaraan pertama dikenakan sebesar 1,5%, kendaraan kedua 2%, dan naik terus hingga batas tertentu—biasanya hingga kendaraan ke-17 dengan maksimal tarif mencapai 10%.

Tujuan Diberlakukannya Pajak Progresif

Kebijakan pajak progresif kendaraan bermotor memiliki beberapa tujuan strategis. Pertama, sebagai alat kontrol pertumbuhan kendaraan, khususnya di kota-kota besar yang padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Dengan semakin mahalnya tarif pajak untuk kendaraan kedua dan seterusnya, masyarakat diharapkan berpikir ulang sebelum membeli kendaraan baru.

Kedua, pajak progresif bertujuan untuk mendorong penggunaan transportasi umum. Pemerintah berharap masyarakat tidak hanya bergantung pada kendaraan pribadi, yang akan berkontribusi pada kemacetan dan polusi, melainkan mulai beralih ke moda transportasi publik seperti MRT, LRT, dan TransJakarta.

Ketiga, penerapan pajak progresif adalah upaya untuk menciptakan keadilan sosial dan fiskal. Masyarakat yang mampu membeli banyak kendaraan dianggap memiliki kemampuan ekonomi lebih dan karenanya layak dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi dibandingkan pemilik tunggal kendaraan.

Mekanisme Perhitungan dan Penetapan

Dalam praktiknya, pajak progresif dihitung berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) dan koefisien tarif progresif sesuai urutan kepemilikan kendaraan. Sistem identifikasi kepemilikan menggunakan basis data nama dan alamat di KTP, yang diolah melalui Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap). Jika seseorang memiliki dua atau lebih kendaraan dengan identitas yang sama, maka kendaraan kedua dan seterusnya akan dikenakan pajak lebih tinggi.

Namun demikian, mekanisme ini masih menuai sejumlah persoalan. Misalnya, dalam satu rumah terdapat beberapa anggota keluarga yang masing-masing memiliki kendaraan, tetapi hanya satu orang yang tercantum sebagai pemilik seluruh kendaraan.

Hal ini menyebabkan orang tersebut dikenakan pajak progresif meski kendaraan digunakan oleh anggota keluarga lain. Selain itu, banyak pemilik kendaraan yang mengakalinya dengan balik nama kendaraan ke saudara atau orang tua, agar tetap dikenakan pajak kendaraan pertama.

Kontroversi dan Kritik dari Masyarakat

Meski memiliki niat baik, kebijakan pajak progresif tidak luput dari kritik publik. Salah satu kritik utama adalah terkait ketidaksesuaian antara beban pajak dengan kemampuan ekonomi riil. Tidak semua pemilik dua kendaraan bermotor tergolong kaya.

Misalnya, seorang pengemudi ojek online bisa saja memiliki dua sepeda motor, satu untuk bekerja dan satu untuk cadangan, namun tetap terkena tarif progresif seperti halnya pengusaha kaya dengan mobil mewah.

Selain itu, sistem pencatatan dan verifikasi kepemilikan kendaraan masih dinilai kurang akurat. Banyak warga yang mengeluhkan dikenakan pajak progresif padahal hanya memiliki satu kendaraan. Hal ini biasanya terjadi karena alamat yang digunakan juga digunakan oleh kerabat lain yang mendaftarkan kendaraan mereka atas alamat yang sama.

“Saya cuma punya satu motor, tapi karena KTP saya sama dengan kakak saya yang punya mobil, pajak saya naik. Saya merasa ini tidak adil,” kata Dedi Sunarya, warga Depok, kepada media lokal.

Kritik lainnya datang dari para pemerhati transportasi yang menilai bahwa transportasi umum belum memadai, sehingga kebijakan untuk menekan kepemilikan kendaraan pribadi terasa prematur. Warga yang tidak memiliki akses transportasi publik layak tetap harus menggunakan kendaraan pribadi untuk bekerja atau beraktivitas.

Evaluasi Pemerintah: Menuju Sistem yang Lebih Adil

Sejumlah daerah telah mulai mengevaluasi sistem pajak progresif ini. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, beberapa kali menyampaikan niat untuk memperbaiki basis data pemilik kendaraan agar lebih akurat dan adil. Dalam beberapa kesempatan, Dinas Pendapatan Daerah juga membuka layanan koreksi data bagi warga yang merasa dirugikan oleh sistem ini.

Selain itu, Kementerian Dalam Negeri dan Korlantas Polri juga mendorong integrasi data kependudukan dengan data kendaraan agar basis identifikasi pemilik kendaraan tidak semata-mata mengandalkan nama dan alamat, tetapi juga mempertimbangkan NIK dan hubungan keluarga.

Langkah lain yang sempat diwacanakan adalah memberikan pengecualian untuk kendaraan operasional dan kendaraan usaha, serta kendaraan yang digunakan oleh anggota keluarga berbeda dalam satu rumah.

“Kami menyadari bahwa sistem yang ada sekarang belum sempurna. Oleh karena itu, evaluasi dan perbaikan sedang kami lakukan agar kebijakan ini betul-betul tepat sasaran,” ujar Herlina Wahyu, Kepala Bapenda DKI Jakarta, dalam konferensi pers tahun 2023.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Secara ekonomi, pajak kendaraan progresif memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah. Di DKI Jakarta saja, pajak kendaraan bermotor menyumbang lebih dari 30% dari total penerimaan pajak daerah. Hal ini menunjukkan pentingnya kebijakan ini dalam mendanai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik.

Namun dari sisi sosial, efek psikologis kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, ada yang merasa termotivasi untuk tidak menambah kendaraan secara sembarangan, namun di sisi lain ada pula yang merasa dipojokkan karena merasa tidak punya pilihan lain selain membeli kendaraan pribadi.

Dampaknya terhadap pasar otomotif juga patut dicermati. Beberapa kalangan industri otomotif mengeluhkan kebijakan ini dapat menurunkan minat beli kendaraan baru, terutama di kelas menengah yang memiliki rencana membeli kendaraan kedua. Ini bisa berdampak pada penurunan penjualan serta perlambatan pertumbuhan industri otomotif dalam negeri.

Studi Banding dengan Negara Lain

Di luar negeri, sistem pajak kendaraan progresif juga diterapkan namun dengan pendekatan yang berbeda. Misalnya di Singapura, pemerintah tidak hanya mengenakan pajak progresif tetapi juga membatasi jumlah kendaraan melalui sistem kuota dan sertifikat COE (Certificate of Entitlement). Sementara di Jerman, pajak kendaraan didasarkan pada emisi karbon, sehingga kendaraan yang ramah lingkungan dikenakan tarif lebih rendah.

Indonesia belum sampai ke tahap mengaitkan pajak kendaraan dengan emisi, meskipun rencana ke arah sana sudah mulai dibicarakan dalam konteks kebijakan kendaraan listrik (EV). Jika ke depan Indonesia juga menyesuaikan tarif pajak dengan faktor lingkungan, maka pajak kendaraan progresif bisa lebih diterima sebagai bagian dari kebijakan transportasi berkelanjutan.

Penutup: Membangun Kebijakan yang Lebih Inklusif

Pajak kendaraan progresif di Indonesia merupakan contoh kebijakan fiskal yang berupaya menggabungkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Meski bertujuan baik, implementasinya masih menyisakan sejumlah masalah teknis dan sosial yang memerlukan pembenahan. Ketimpangan data, kurangnya sosialisasi, serta belum optimalnya transportasi umum membuat kebijakan ini belum dirasakan adil oleh semua lapisan masyarakat.

Agar tujuan pengendalian kendaraan, peningkatan pendapatan daerah, dan keadilan fiskal bisa tercapai secara seimbang, dibutuhkan reformasi sistem pencatatan kendaraan, evaluasi basis perhitungan tarif, serta pembangunan transportasi publik yang merata. Dengan pendekatan yang lebih menyeluruh dan partisipatif, pajak progresif bisa menjadi instrumen fiskal yang lebih efektif dan diterima luas oleh publik.