Dmarket.web.id – TikTok, aplikasi berbasis video pendek yang diluncurkan oleh perusahaan Tiongkok ByteDance, telah menjelma menjadi raksasa digital dalam kurun waktu yang sangat singkat.
Dengan lebih dari 1 miliar pengguna aktif bulanan di seluruh dunia, TikTok bukan sekadar media hiburan, tetapi juga platform sosial yang membentuk budaya, tren, dan bahkan cara berpikir generasi muda.
Di balik popularitasnya yang luar biasa, muncul istilah baru yang mengkhawatirkan: brain rot — atau dalam terjemahan bebas, pembusukan otak. Istilah ini tidak bermaksud secara harfiah merujuk pada kerusakan fisik otak, tetapi menggambarkan degradasi kualitas berpikir, penurunan kemampuan fokus, dan kecanduan konten instan yang merajalela.
Apa Itu Brain Rot? Istilah Populer yang Menyimpan Bahaya Tersembunyi
Istilah brain rot kini ramai diperbincangkan di media sosial, terutama oleh kalangan Gen Z yang menyadari bahwa kebiasaan menonton TikTok selama berjam-jam telah membuat mereka kehilangan konsentrasi, sulit membaca buku, dan bahkan mengalami kecemasan jika tidak terpapar konten secara terus-menerus.
Fenomena ini bukan sekadar candaan internet. Pakar neuropsikologi telah menyatakan bahwa paparan konten pendek secara berulang, seperti yang tersedia di TikTok, dapat berdampak buruk terhadap sistem reward di otak, menyebabkan kecanduan dopamin, dan menurunkan kemampuan otak dalam menyerap informasi jangka panjang.
TikTok dan Mekanisme Dopamin: Mesin Penghancur Fokus Manusia?
TikTok bekerja dengan algoritma yang sangat canggih. Setiap kali pengguna menggeser ke video berikutnya dan merasa terhibur, otak mereka melepaskan dopamin — zat kimia yang menciptakan rasa senang.
Seiring waktu, otak mulai terbiasa dengan semburan dopamin cepat ini, dan ketika tidak ada rangsangan serupa, pengguna merasa bosan, gelisah, bahkan stres. Ini menyebabkan siklus ketergantungan, di mana pengguna terus mencari video baru demi mendapatkan “rush” dopamin yang sama.
Dalam jangka panjang, ini dapat merusak sistem regulasi dopamin alami otak dan menciptakan kesulitan dalam menikmati aktivitas lain yang lebih lambat dan menuntut konsentrasi, seperti membaca, belajar, atau bahkan menonton film berdurasi panjang.
Bagaimana TikTok Mengubah Cara Berpikir Anak Muda
Salah satu kritik terbesar terhadap TikTok adalah kemampuannya dalam membentuk mentalitas instan. Video berdurasi 15 detik hingga 3 menit membuat pengguna terbiasa mendapatkan informasi atau hiburan secara cepat.
Akibatnya, banyak anak muda merasa kesulitan untuk mendalami suatu topik secara serius. Fenomena ini juga berdampak pada dunia pendidikan, di mana siswa lebih tertarik menonton “ringkasan pelajaran” versi TikTok daripada membaca buku teks atau menyimak guru di kelas.
Beberapa guru bahkan mengeluh bahwa siswa mereka tidak sabar menunggu penjelasan tuntas dan ingin “langsung ke poinnya”, mirip seperti video TikTok yang cepat dan langsung.
Dari Kecemasan Sosial hingga Dissociation
Selain menurunnya fokus dan daya tahan mental, TikTok juga dituding menjadi pemicu berbagai gangguan kesehatan mental. Banyak pengguna mengaku merasa cemas atau tidak berharga setelah melihat video orang lain yang tampil sempurna, kaya, cantik, atau hidupnya terlihat “ideal”. Efek perbandingan sosial ini menumbuhkan perasaan minder, tidak puas dengan diri sendiri, dan keinginan untuk mencitrakan diri secara palsu demi validasi. Beberapa pengguna bahkan mengalami dissociation — kondisi psikologis di mana seseorang merasa terlepas dari kenyataan, seperti hidup dalam dunia yang tidak nyata, karena terlalu larut dalam dunia maya TikTok.
TikTok dan Kehancuran Budaya Literasi
Dampak brain rot juga terlihat dari menurunnya budaya membaca di kalangan generasi muda. Banyak remaja dan dewasa muda kini mengaku sulit menamatkan satu buku karena tidak tahan duduk diam dan membaca tanpa gangguan.
Mereka terbiasa dengan rangsangan cepat, dan buku dianggap terlalu membosankan. Bahkan dalam dunia akademik, esai dan tugas sering kali dicari dalam bentuk ringkasan TikTok. Ini memunculkan kekhawatiran bahwa budaya literasi yang dibangun selama ratusan tahun kini terancam runtuh oleh gelombang hiburan digital berbasis visual.
Algoritma yang Menjebak: Personalized Feed dan Pola Konsumsi Toksik
TikTok menggunakan algoritma berbasis machine learning yang secara cepat mempelajari preferensi pengguna. Semakin lama seseorang menggunakan TikTok, semakin “tajam” algoritma dalam menyajikan konten yang membuat mereka betah berlama-lama.
Namun, inilah jebakannya. Jika seorang pengguna tertarik pada konten lucu, maka feed-nya akan terus dipenuhi oleh video konyol. Jika ia suka drama, maka algoritma akan menyajikan drama tanpa henti.
Ini membatasi keberagaman informasi dan menciptakan echo chamber yang mempersempit cara pandang seseorang. Dalam jangka panjang, otak menjadi pasif, hanya menyerap apa yang disodorkan algoritma tanpa proses berpikir kritis.
Brain Rot: TikTok sebagai Narkotika Baru Generasi Modern
Beberapa pakar kesehatan bahkan menyamakan kecanduan TikTok dengan kecanduan narkoba ringan. Gejalanya sama: pengguna merasa gelisah jika tidak membuka aplikasi, kehilangan minat pada aktivitas lain, dan menghabiskan waktu berjam-jam tanpa sadar.
Sebuah studi di AS menunjukkan bahwa rata-rata pengguna TikTok menghabiskan 90 menit sehari di aplikasi tersebut. Bagi remaja, angkanya bisa jauh lebih tinggi. Waktu ini bukan hanya sekadar “terbuang”, tetapi mengubah struktur kebiasaan, merusak pola tidur, dan menggantikan kegiatan produktif lainnya.
Perubahan Pola Tidur dan Gangguan Fisik
Pengguna TikTok yang kecanduan umumnya mengalami gangguan tidur. Kebiasaan doom scrolling — menonton video hingga larut malam — menyebabkan terganggunya ritme sirkadian, yang mengatur siklus tidur-bangun manusia.
Banyak pengguna melaporkan sulit tidur karena Brain Rot, bahkan setelah mematikan ponsel, karena otak masih aktif menerima rangsangan visual. Akibatnya, produktivitas menurun, tubuh mudah lelah, dan rentan terhadap penyakit.
Di sisi lain, terlalu lama menatap layar dalam posisi duduk atau berbaring juga memicu masalah fisik seperti nyeri leher, bahu, dan mata kering.
Pengaruh terhadap Anak-Anak dan Remaja: Ancaman terhadap Tumbuh Kembang
Anak-anak dan remaja adalah kelompok yang paling rentan terkena dampak brain rot akibat TikTok. Otak mereka masih berkembang dan sangat sensitif terhadap rangsangan digital.
TikTok menjadi semacam “pengasuh digital” yang menggantikan interaksi sosial nyata, permainan fisik, atau eksplorasi alam. Dalam jangka panjang, anak-anak yang terlalu sering terpapar TikTok berisiko mengalami keterlambatan perkembangan bahasa, kesulitan sosialisasi, dan ketergantungan digital yang mendalam.
Para orang tua, sayangnya, justru sering kali menyerahkan gawai kepada anak demi menenangkan mereka, tanpa menyadari risiko jangka panjangnya.
Konten Tidak Bermutu dan Banjir Informasi Sampah
Salah satu penyebab brain rot adalah masifnya konten tidak bermutu di TikTok. Meskipun ada banyak video edukatif, namun konten hiburan instan, prank tidak lucu, dan drama tidak sehat jauh lebih populer.
Ini menciptakan banjir informasi sampah yang memenuhi pikiran pengguna dengan hal-hal dangkal. Akibatnya, otak menjadi malas menyaring informasi yang penting dan terbiasa dengan hal-hal yang tidak memberikan nilai tambah.
Fenomena Brain Rot ini diperparah dengan munculnya creator yang mengejar popularitas lewat cara kontroversial atau bahkan merugikan publik, seperti menyebarkan hoaks atau konten vulgar.
Tanda-Tanda Brain Rot pada Pengguna TikTok
Beberapa tanda brain rot akibat TikTok antara lain:
-
Sulit fokus lebih dari 10 menit.
-
Tidak bisa menyelesaikan bacaan panjang.
-
Mengalami kecemasan jika tidak membuka TikTok dalam beberapa jam.
-
Merasa bosan terhadap kegiatan yang tidak “seru” secara instan.
-
Kesulitan mengingat informasi penting.
-
Sering merasa kosong meski sudah banyak menonton video.
Jika seseorang mengalami tanda-tanda tersebut, bisa jadi otaknya sudah terbiasa dengan pola konsumsi konten instan yang melemahkan fungsi kognitif.
Solusi Brain Rot: Detox Digital dan Literasi Digital
Menghadapi fenomena ini, solusi paling efektif adalah melakukan digital detox atau puasa dari TikTok secara berkala.
Ini dapat dimulai dengan membatasi durasi penggunaan harian, menggunakan aplikasi pemantau waktu layar, dan mengganti waktu TikTok dengan aktivitas seperti membaca buku, jalan-jalan, atau berdiskusi dengan teman. Selain itu, literasi digital juga penting.
Pengguna harus diajarkan cara memilah konten berkualitas, mengenali manipulasi algoritma, serta menyadari bahwa dunia TikTok bukanlah representasi nyata dari kehidupan.
Potensi Positif yang Perlu Diarahkan
Meski mendapat banyak kritikan Brain Rot, TikTok juga memiliki sisi positif. Banyak kreator menggunakan platform ini untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, mengajarkan skill baru, atau menyuarakan isu sosial.
Tantangannya adalah bagaimana mempromosikan konten edukatif agar bisa bersaing dengan konten hiburan semata. Jika digunakan secara bijak, TikTok bisa menjadi sarana belajar yang menyenangkan. Namun, dibutuhkan kesadaran kolektif dari pengguna, kreator, dan pengelola platform untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat.
Kesimpulan Brain Rot: TikTok dan Brain Rot, Perlu Refleksi Mendalam
Fenomena brain rot akibat TikTok bukan sekadar lelucon daring atau hiperbola media. Ini adalah refleksi nyata dari perubahan cara hidup manusia dalam era digital.
Ketika perhatian kita dijual ke algoritma dan waktu kita dihabiskan pada konten yang tidak bernilai, maka sesungguhnya kita tengah merelakan kemampuan berpikir kritis dan kedalaman intelektual kita untuk hiburan sesaat.
TikTok bukan musuh Brain Rot, tapi kebiasaan kita dalam menggunakannya perlu direfleksikan ulang. Jika tidak, maka bukan hanya waktu yang terbuang, tetapi juga kualitas hidup dan potensi intelektual generasi masa depan yang menjadi korban.