Trump Larang Mahasiswa Asing Kuliah di Harvard

harvard

Dmarket.web.id – Pada tahun 2025, dunia pendidikan tinggi Harvard Amerika Serikat kembali terguncang setelah Presiden Donald J. Trump, yang terpilih kembali untuk masa jabatan kedua, mengumumkan kebijakan kontroversial terkait visa mahasiswa internasional.

Dalam keputusan mengejutkan yang diumumkan pada bulan April, Trump melalui Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) dan Badan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE), memerintahkan agar seluruh mahasiswa internasional yang tidak menghadiri kelas tatap muka penuh waktu segera meninggalkan wilayah Amerika Serikat.

Kebijakan ini secara langsung mempengaruhi ribuan mahasiswa internasional, terutama di universitas-universitas besar seperti Harvard, MIT, Stanford, dan Columbia, yang masih memberlakukan sistem hybrid pasca-pandemi COVID-19 dan krisis iklim yang mengganggu jadwal akademik normal.

Menurut pernyataan resmi Gedung Putih, kebijakan ini dimaksudkan untuk “mengembalikan semangat pendidikan konvensional dan menghindari eksploitasi sistem visa oleh warga asing.”

Namun, banyak yang menilai alasan tersebut hanyalah dalih politik untuk memperketat imigrasi legal, termasuk mahasiswa, sebagai bagian dari janji kampanye Trump dalam pilpres 2024.

Keputusan ini menuai reaksi keras dari komunitas akademik, mahasiswa, dan para pemimpin internasional, yang menyebutnya sebagai langkah anti-intelektual, diskriminatif, dan merugikan reputasi Amerika sebagai pusat pendidikan dunia.

Harvard dan Reaksi Kampus: Ketegangan Terulang

Harvard University menjadi simbol perlawanan atas kebijakan ini. Dengan lebih dari 25% mahasiswanya berasal dari luar negeri, kebijakan tersebut mengancam keberlangsungan akademik, penelitian, dan reputasi internasional Harvard.

Rektor Harvard saat ini, Dr. Melissa Conway, menyatakan dalam konferensi pers bahwa “langkah pemerintah ini mengancam masa depan ribuan mahasiswa berbakat dari seluruh dunia, dan bertentangan dengan nilai-nilai akademik serta kemanusiaan.”

Tidak lama setelah pengumuman tersebut, Harvard bersama MIT kembali mengajukan gugatan hukum ke Pengadilan Distrik Massachusetts, mengulangi sejarah tahun 2020 saat keduanya berhasil menggagalkan kebijakan serupa.

Dalam dokumen gugatan yang bocor ke media, Harvard menuduh bahwa keputusan ICE tahun 2025 ini bersifat arbitrer, melanggar hak prosedural, serta membahayakan mahasiswa internasional secara fisik dan mental.

Mahasiswa dari negara-negara konflik seperti Iran, Sudan, dan Myanmar terancam kehilangan status visa mereka, padahal negara asal mereka sedang dilanda gejolak politik dan bencana. Di beberapa kampus, protes mahasiswa merebak.

Di Harvard Square, ratusan mahasiswa dari berbagai latar belakang berkumpul dengan poster bertuliskan “Education Has No Borders” dan “We Belong Here”, menolak keras apa yang mereka sebut sebagai kebijakan xenofobik pemerintah.

Dampak Individu: Ketakutan, Kecemasan, dan Ketidakpastian

Bagi mahasiswa internasional, keputusan ini menghadirkan ketakutan dan kecemasan besar. Sarah Wong, mahasiswa pascasarjana dari Singapura yang menempuh studi kedokteran di Harvard Medical School, mengaku tidak tidur berhari-hari sejak pengumuman tersebut.

“Saya sudah berada di sini sejak 2021. Ini bukan sekadar pendidikan, ini hidup saya. Saya sedang melakukan penelitian tentang kanker ovarium, dan jika harus pulang, proyek ini bisa gagal,” ungkapnya dalam wawancara dengan The Boston Globe.

Cerita serupa datang dari Youssef, mahasiswa asal Mesir di jurusan Hukum Internasional Harvard, yang menyebut bahwa keluarganya sudah menjual tanah untuk membiayai kuliahnya di AS, dan kini semuanya di ujung tanduk.

Selain ketakutan akan deportasi, tantangan teknis juga mengemuka. Banyak mahasiswa mengandalkan akses laboratorium, pustaka, dan infrastruktur kampus yang tidak bisa digantikan dari negara asal mereka.

Kelas online memang tersedia, namun kualitas koneksi, zona waktu yang ekstrem, dan kondisi rumah yang tidak kondusif menjadi hambatan besar. Bahkan ada laporan bahwa beberapa mahasiswa yang pulang ke negara asalnya pada 2020 akibat kebijakan serupa, hingga kini tidak bisa kembali ke AS karena visa mereka ditangguhkan.

Situasi ini memperkuat rasa tidak aman dan memperburuk kesehatan mental mahasiswa, yang pada dasarnya datang ke AS untuk mencari masa depan lebih baik.

Motif Politik di Balik Kebijakan: Strategi Nasionalisme Trump

Banyak analis politik menilai bahwa kebijakan pengusiran mahasiswa internasional ini bukan hanya soal pendidikan di Harvard, melainkan bagian dari strategi besar Donald Trump untuk memperkuat dukungan dari basis nasionalis dan konservatif.

Pada masa kampanye 2024, Trump berulang kali menyampaikan retorika bahwa “Amerika adalah untuk orang Amerika,” serta menyebut visa mahasiswa sebagai “celah yang dieksploitasi oleh negara asing.”

Meskipun tidak ada bukti kuat bahwa mahasiswa internasional menyalahgunakan visa mereka secara sistematis, retorika semacam itu efektif menarik simpati kalangan populis dan anti-imigran di wilayah pedalaman AS.

Dalam salah satu pidato publiknya, Trump bahkan menyebut bahwa “beberapa mahasiswa asing datang ke sini bukan untuk belajar di Harvard, tetapi untuk mencuri teknologi kita.” Ucapan ini mengacu pada narasi keamanan nasional yang kerap digunakan untuk memperketat akses mahasiswa dari Tiongkok dan Rusia.

Namun, data dari Departemen Pendidikan AS menunjukkan bahwa kontribusi mahasiswa asing terhadap ekonomi AS mencapai lebih dari $40 miliar per tahun, dan banyak dari mereka bekerja sama dalam riset penting, termasuk pengembangan vaksin, energi terbarukan, dan kecerdasan buatan.

Retorika Trump dinilai mengorbankan keuntungan strategis jangka panjang demi keuntungan elektoral sesaat bagi para mahasiswa di Harvard.

Reaksi Internasional: Amerika Kehilangan Daya Tarik Global

Respon internasional terhadap kebijakan ini sangat negatif. Pemerintah Jerman, Prancis, Kanada, dan Jepang secara terbuka menyampaikan keprihatinan mereka dan menawarkan skema beasiswa alternatif untuk mahasiswa yang terdampak.

Bahkan, Universitas Toronto, Melbourne, dan ETH Zurich meluncurkan program darurat untuk menerima transfer mahasiswa dari AS jika mereka dideportasi atau keluar secara sukarela.

Reputasi Amerika sebagai pusat pendidikan global kini dipertanyakan. “Kami tidak lagi bisa menjamin bahwa anak-anak kami aman belajar di Harvard AS,” kata Menteri Pendidikan India dalam sebuah wawancara dengan The Times of India.

Sentimen ini menyebar luas di berbagai negara, terutama Asia dan Afrika, yang menjadi penyumbang utama mahasiswa asing di AS.

Pakar hubungan internasional menyatakan bahwa kebijakan ini dapat mempercepat pergeseran arus pendidikan tinggi global dari AS ke negara-negara seperti Kanada, Inggris, dan Australia.

Selain faktor keamanan, kepercayaan menjadi isu utama. “Jika pemerintah AS bisa berubah kebijakan secara sepihak dua kali dalam lima tahun, siapa yang bisa menjamin bahwa itu tidak terjadi lagi?” ujar Dr. Hiroshi Takeda, seorang analis pendidikan tinggi dari Jepang.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan dalam negeri AS kini memiliki dampak global yang sangat besar terhadap peta pendidikan dan diplomasi lunak dunia.

Upaya Perlawanan: Koalisi Akademik dan Hukum

Sebagai respons terhadap krisis ini, berbagai lembaga dan universitas membentuk koalisi nasional untuk menentang kebijakan Trump. Asosiasi Pendidikan Internasional Amerika (NAFSA) bekerja sama dengan lebih dari 300 universitas untuk melobi Kongres dan Mahkamah Agung.

Selain itu, kelompok hak asasi manusia seperti ACLU dan Human Rights Watch mengajukan gugatan bersama mahasiswa internasional yang terancam deportasi. Di tingkat lokal, kota-kota seperti Boston, New York, dan San Francisco menyatakan diri sebagai sanctuary cities untuk mahasiswa internasional, meskipun kewenangan mereka terbatas.

Koalisi ini juga menggandeng alumni ternama yang pernah menjadi mahasiswa internasional di AS, termasuk CEO besar seperti Sundar Pichai (Google) dan Satya Nadella (Microsoft), untuk menekan pemerintahan Trump.

Mereka mengeluarkan pernyataan bersama yang menegaskan bahwa “inovasi Amerika dibangun oleh keberagaman, bukan eksklusi.” Beberapa tokoh politik dari Partai Demokrat seperti Alexandria Ocasio-Cortez dan Gavin Newsom juga menyuarakan perlawanan di Kongres dan menuntut agar Kongres meloloskan UU Perlindungan Mahasiswa Internasional, meskipun peluang lolosnya terbentur dominasi Partai Republik di Senat.

Penolakan dari Dunia Bisnis dan Teknologi

Selain kampus dan LSM, dunia bisnis dan teknologi juga bereaksi keras terhadap kebijakan ini. Perusahaan seperti Apple, Google, Amazon, dan Tesla menyatakan keberatan mereka, menyebut bahwa kebijakan ini merugikan inovasi, mempersulit rekrutmen talenta global, dan mengancam riset strategis.

Dalam sebuah surat terbuka kepada Gedung Putih, lebih dari 150 CEO perusahaan Fortune 500 menyatakan bahwa mahasiswa internasional adalah bagian penting dari ekosistem inovasi di AS. “Tanpa mereka, Silicon Valley bukan Silicon Valley,” tulis surat tersebut.

Beberapa perusahaan bahkan menawarkan bantuan hukum dan dana darurat bagi mahasiswa yang terancam. Google dan Microsoft, misalnya, meluncurkan program ‘Safe Studies’ untuk menampung mahasiswa terdampak di fasilitas riset mereka.

Elon Musk, dalam gaya khasnya yang provokatif, menulis di X (sebelumnya Twitter), “Jika AS menolak otak-otak brilian dunia, mungkin mereka lebih baik bekerja untuk SpaceX di luar angkasa.”

Meskipun bernada sarkastik, komentar ini mencerminkan kekecewaan mendalam kalangan industri terhadap kebijakan Trump yang dianggap merugikan daya saing AS dalam jangka panjang.

Kesimpulan: Krisis Identitas dalam Pendidikan Tinggi Amerika

Kebijakan pengusiran mahasiswa internasional di Harvard dan universitas lain pada tahun 2025 menjadi refleksi dari krisis identitas Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump.

Di satu sisi, AS selalu membanggakan diri sebagai tanah harapan dan pusat ilmu pengetahuan, namun di sisi lain, kebijakan politik yang sempit dan eksklusif merusak narasi tersebut.

Ketika dunia menghadapi tantangan besar seperti perubahan iklim, pandemi, dan krisis geopolitik, pendekatan isolasionis semacam ini hanya akan melemahkan posisi Amerika di panggung global.

Masa depan pendidikan tinggi Harvard AS bergantung pada kemampuannya untuk mempertahankan prinsip inklusivitas, keberagaman, dan otonomi akademik.

Trump mungkin memenangkan beberapa poin politik jangka pendek dengan kebijakan ini, tetapi sejarah akan mencatat bahwa upaya untuk mengusir mahasiswa internasional dari Harvard dan kampus lainnya adalah salah satu langkah paling kelam dalam sejarah pendidikan Amerika.

Selama dunia masih menghargai ilmu pengetahuan dan kolaborasi lintas budaya, perjuangan mahasiswa internasional ini akan terus menjadi simbol perlawanan terhadap politik yang memecah belah dan mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.