COVID-19 Kembali Melonjak di Indonesia 2025

covid-19

Dmarket.web.id – Pada pertengahan tahun 2025, Indonesia kembali menghadapi lonjakan kasus COVID-19 setelah beberapa tahun masa tenang yang sempat dianggap sebagai akhir dari pandemi.

Peningkatan signifikan dalam jumlah infeksi COVID-19 harian terjadi pada bulan Mei dan Juni 2025, terutama di daerah padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan.

Berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan RI, kasus COVID-19 aktif meningkat 300% dibandingkan bulan sebelumnya, dengan rata-rata 2.000 hingga 3.500 kasus harian yang dilaporkan pada awal Juni.

Kondisi ini cukup mengejutkan banyak pihak, karena sejak awal 2024, pemerintah telah secara bertahap mencabut berbagai kebijakan pembatasan sosial. Kegiatan masyarakat telah kembali normal, sekolah dibuka penuh, dan pariwisata internasional dibuka lebar.

Namun, kemunculan subvarian baru dari COVID-19 Omicron, yang diberi nama sementara “Omicron Pi”, membawa ancaman yang jauh lebih menular meskipun dengan gejala ringan. Subvarian ini menyebar cepat karena tingkat transmisi udara yang tinggi dan masa inkubasi yang lebih pendek.

Varian Baru dan Tantangan Deteksi Dini

Varian Omicron Pi ini dikonfirmasi oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman sebagai hasil mutasi dari strain sebelumnya yang telah lama beredar di Asia Tenggara.

Yang membuatnya unik adalah kemampuannya menghindari deteksi oleh sebagian alat tes antigen dan gejalanya yang menyerupai flu biasa. Akibatnya, banyak orang tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi, dan baru diketahui saat kondisi kesehatan memburuk atau setelah menyebabkan penularan pada keluarga dan kolega kerja.

“Varian COVID-19 ini tidak terlalu mematikan, tetapi jauh lebih menular dan sulit dideteksi dini,” ungkap Prof. dr. Gunawan Wibowo, ahli virologi dari Universitas Indonesia.

Ia juga menambahkan bahwa sistem surveillance Indonesia masih lemah dalam mendeteksi penyebaran masif jika tidak dibarengi peningkatan kesadaran publik dan skrining ketat di fasilitas umum.

Vaksinasi Booster COVID-19 Masih Rendah

Salah satu penyebab utama dari cepatnya lonjakan kasus kali ini adalah rendahnya cakupan vaksinasi booster kedua dan ketiga di berbagai wilayah. Data dari Satgas COVID-19 menunjukkan bahwa hingga Mei 2025, hanya sekitar 35% penduduk dewasa yang menerima booster kedua, dan angka ini lebih rendah lagi untuk kelompok lansia dan komorbid.

Setelah masa euforia pasca-2023, saat WHO mencabut status darurat kesehatan global, antusiasme masyarakat untuk melakukan vaksinasi menurun drastis. Banyak yang merasa vaksin sudah tidak lagi dibutuhkan.

Kampanye vaksinasi pun sempat berhenti karena keterbatasan anggaran dan berubahnya prioritas pemerintah ke sektor ekonomi dan pendidikan.

Padahal, para ahli kesehatan menyatakan bahwa efektivitas vaksin menurun secara signifikan setelah enam bulan. Oleh karena itu, tanpa booster yang memadai, imunitas kolektif masyarakat pun menurun drastis, sehingga varian baru lebih mudah menyebar.

Pemerintah kini kembali mendorong program vaksinasi massal, namun tantangan logistik dan kepercayaan publik menjadi hambatan tersendiri.

Rumah Sakit Kembali Tertekan

Meskipun tidak separah gelombang Delta pada 2021, lonjakan kasus COVID-19 tahun ini kembali menimbulkan tekanan terhadap fasilitas kesehatan, terutama di rumah sakit rujukan.

RSUP Persahabatan di Jakarta Timur, misalnya, mencatat peningkatan okupansi tempat tidur hingga 85% di ruang isolasi COVID-19. Hal ini memaksa rumah sakit membuka kembali tenda darurat untuk pasien gejala ringan hingga sedang.

Dr. Mega Lestari, dokter spesialis paru di rumah sakit tersebut, menyampaikan bahwa beban kerja tenaga medis kembali meningkat. “Kami seperti mengalami deja vu.

Memang pasien saat ini tidak separah sebelumnya, tapi jumlahnya sangat banyak dan datang terus-menerus,” ujarnya. Banyak tenaga medis juga sudah kembali bekerja di layanan reguler dan harus melakukan penyesuaian mendadak untuk kembali menangani pandemi.

Beberapa daerah yang kekurangan tenaga medis juga mulai mengaktifkan kembali relawan COVID-19 dan meminta bantuan dari universitas-universitas kedokteran untuk mengirim mahasiswa profesi. Pengadaan alat pelindung diri (APD), ventilator, serta pasokan oksigen juga mulai ditingkatkan.

Pemerintah Terapkan Kembali Pembatasan Bertahap

Merespons lonjakan ini, pemerintah kembali mengaktifkan beberapa kebijakan pembatasan sosial berskala lokal. Di wilayah dengan zona merah, seperti DKI Jakarta, Bali, dan Yogyakarta, pembelajaran jarak jauh (PJJ) diberlakukan kembali untuk sekolah dasar dan menengah.

Jam operasional pusat perbelanjaan dibatasi hingga pukul 20.00, dan kapasitas restoran dibatasi 50% untuk sementara waktu.

Meski begitu, pemerintah berupaya agar pembatasan ini tidak terlalu berdampak pada perekonomian. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menegaskan bahwa lockdown total tidak akan diberlakukan. “Kita harus belajar hidup berdampingan dengan virus. Pembatasan kali ini bersifat adaptif dan responsif, bukan represif,” katanya dalam konferensi pers.

Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Sebagian masyarakat mendukung langkah cepat pemerintah, tetapi banyak juga yang mulai jenuh dengan pembatasan berkepanjangan. Pedagang kecil dan pelaku UMKM kembali mengeluh kehilangan pendapatan. Banyak keluarga menolak PJJ karena keterbatasan perangkat dan pengawasan belajar di rumah.

Reaksi Publik: Di Antara Kewaspadaan dan Kejenuhan

Meningkatnya kembali kasus COVID-19 ini mendapat reaksi beragam dari masyarakat. Sebagian besar masyarakat perkotaan sudah lebih waspada dan mulai kembali menggunakan masker di tempat umum.

Namun, di daerah pedesaan dan pinggiran kota, kesadaran untuk menerapkan protokol kesehatan menurun drastis. Banyak yang menganggap COVID-19 hanya seperti flu biasa dan tidak perlu ditakuti lagi.

Fenomena “pandemic fatigue” atau kejenuhan pandemi menjadi salah satu penyebab utama menurunnya kepatuhan masyarakat. Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada Mei 2025 menunjukkan bahwa hanya 43% masyarakat masih mengikuti protokol kesehatan secara rutin. Angka ini jauh lebih rendah dibanding tahun 2021 yang mencapai lebih dari 80%.

Sosial media juga kembali menjadi ladang perdebatan, antara mereka yang menyerukan kewaspadaan dan yang menuding pemerintah membesar-besarkan masalah untuk tujuan politik atau bisnis vaksin. Kampanye hoaks kembali marak, termasuk teori konspirasi lama yang kembali viral seiring naiknya kasus.

Dunia Internasional dan Ancaman Gelombang COVID-19 Baru

Tidak hanya Indonesia, sejumlah negara di Asia Tenggara juga mengalami tren peningkatan kasus COVID-19 sejak awal tahun 2025. Malaysia, Singapura, dan Thailand mencatat peningkatan kasus hingga dua kali lipat dalam waktu sebulan.

WHO kembali mengeluarkan peringatan agar negara-negara tidak lengah terhadap potensi gelombang baru akibat varian Omicron Pi dan kemungkinan mutasi lebih lanjut yang mungkin terjadi.

Indonesia pun mulai mengetatkan kembali perbatasan internasional, terutama terhadap pelancong dari negara-negara dengan kasus tinggi. Tes PCR diberlakukan kembali di beberapa bandara internasional, dan masa karantina bagi WNA diperpanjang menjadi tiga hari. Hal ini tentu berdampak pada sektor pariwisata yang baru saja bangkit pasca pandemi.

Dampak global ini juga menekan ekonomi dunia yang mulai pulih. Beberapa maskapai menunda pembukaan rute baru, dan industri event kembali menyesuaikan kapasitas atau bahkan membatalkan rencana besar.

Ekspor-impor barang medis pun kembali menunjukkan lonjakan permintaan yang menyebabkan kelangkaan di beberapa negara berkembang.

Harapan Baru dan Strategi Adaptif

Meski demikian, tidak semua kabar bersifat negatif. Dunia medis telah belajar banyak sejak 2020. Vaksin COVID-19 generasi baru yang dirancang untuk varian Omicron Pi kini tengah dikembangkan dan dalam tahap uji klinis di beberapa negara.

Indonesia juga sudah mulai melakukan kerja sama dengan Jepang dan Korea Selatan untuk produksi lokal vaksin generasi terbaru yang diharapkan bisa digunakan akhir tahun ini.

Di sisi lain, strategi adaptasi jangka panjang mulai diterapkan. Sekolah-sekolah mulai beralih ke model hybrid secara permanen, rumah sakit memperkuat sistem isolasi, dan pemerintah daerah mempercepat digitalisasi pelayanan kesehatan. Telemedicine dan layanan konsultasi daring menjadi lebih masif dan terintegrasi.

“Saat ini bukan lagi soal melenyapkan virus COVID-19, tapi bagaimana kita hidup berdampingan tanpa mengorbankan ekonomi dan pendidikan,” ujar Dr. Reza Himawan, pakar epidemiologi dari Unair. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antarsektor dalam mengelola risiko kesehatan masyarakat di masa pasca-pandemi.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Normalitas Sejati

Kenaikan kembali kasus COVID-19 di Indonesia tahun 2025 menjadi pengingat keras bahwa pandemi belum benar-benar selesai. Virus yang terus bermutasi akan selalu menghadirkan tantangan baru, baik dari sisi medis, sosial, maupun ekonomi.

Namun, pengalaman panjang selama lima tahun menghadapi pandemi telah membekali Indonesia dengan pengetahuan, infrastruktur, dan jaringan yang lebih baik dalam merespons situasi darurat.

Meski kejenuhan masyarakat menjadi tantangan besar, pendekatan yang lebih komunikatif, berbasis data, dan kolaboratif perlu terus diperkuat. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri.

Masyarakat harus dilibatkan secara aktif sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan. Ke depan, yang dibutuhkan bukan hanya ketahanan sistem kesehatan, tetapi juga ketahanan sosial dan psikologis dalam menghadapi era “normal baru” yang terus berubah.

Jika pandemi COVID-19 mengajarkan satu hal penting, itu adalah bahwa solidaritas, kecepatan adaptasi, dan ilmu pengetahuan merupakan kunci utama dalam menghadapi krisis global yang bisa datang kapan saja.