Berita  

Daging Babi Termasuk Daging Merah Atau Putih?

Daging Babi

Dmarket.web.id – Pertanyaan mengenai apakah daging babi termasuk dalam kategori daging merah atau putih telah lama menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan nutrisi, ahli kuliner, dan masyarakat umum.

Bagi sebagian orang, daging babi terlihat lebih terang daripada sapi atau kambing, sehingga mereka menganggapnya sebagai daging putih. Namun, dalam klasifikasi ilmiah berdasarkan kandungan mioglobin dan struktur serat otot, jawabannya tidak sesederhana itu.

Selain aspek sains, persepsi publik juga dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, dan kebiasaan kuliner. Artikel ini akan membahas secara komprehensif mengenai klasifikasi daging babi, mulai dari definisi ilmiah, nilai gizi, hingga kontroversi persepsi publik.

Definisi Ilmiah Daging Merah dan Daging Putih

Secara ilmiah, pengelompokan daging menjadi merah dan putih didasarkan pada kandungan mioglobin, yaitu protein pengikat oksigen yang terdapat dalam otot hewan.

Mioglobin memberikan warna merah pada otot dan semakin tinggi konsentrasinya, maka warna daging akan tampak lebih gelap. Daging merah mengandung mioglobin dalam jumlah tinggi, seperti pada sapi, kambing, dan domba.

Sebaliknya, daging putih seperti ayam dan ikan memiliki kadar mioglobin lebih rendah, menjadikannya berwarna pucat atau terang.

Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), daging babi diklasifikasikan sebagai daging merah, walaupun warnanya mungkin tampak lebih terang daripada sapi.

Hal ini karena mioglobin dalam otot babi masih lebih tinggi dibandingkan dengan ayam atau ikan. Bahkan potongan daging jenis ini seperti tenderloin yang tampak pucat tetap masuk dalam kategori daging merah. Artinya, klasifikasi daging tidak semata-mata ditentukan oleh warna visual, melainkan oleh komposisi kimiawi.

Kandungan Mioglobin pada Daging Babi

Mioglobin memainkan peran utama dalam penentuan warna daging. Dalam daging babi, kadar mioglobin biasanya berkisar antara 0,06 hingga 0,2 persen. Ini lebih tinggi dibanding ayam (0,02 persen) dan lebih rendah dibandingkan sapi (sekitar 0,5 persen).

Meski terlihat terang, daging babi tetap memiliki karakteristik fisiologis serupa dengan daging merah lainnya. Selain mioglobin, faktor lain seperti usia hewan, aktivitas otot, dan teknik pemrosesan juga dapat memengaruhi warna akhir daging.

Misalnya, potongan babi seperti bahu (shoulder) dan paha belakang (ham) cenderung lebih gelap karena aktivitas otot yang lebih besar di area tersebut. Sementara bagian seperti loin atau tenderloin yang jarang digunakan hewan tampak lebih terang.

Oleh karena itu, variasi dalam warna daging babi tidak menunjukkan bahwa itu adalah daging putih, melainkan memperlihatkan perbedaan tingkat aktivitas otot dan kadar oksigenasi.

Kebingungan Konsumen dan Pengaruh Iklan

Kebingungan tentang klasifikasi daging babi juga diperparah oleh strategi pemasaran industri daging jenis ini. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, National Pork Board di Amerika Serikat meluncurkan kampanye iklan terkenal bertajuk “Pork: The Other White Meat.”

Tujuannya adalah untuk mempromosikan daging babi sebagai alternatif sehat dari daging ayam bagi konsumen yang peduli terhadap lemak jenuh dan kolesterol.

Kampanye ini sangat berhasil dalam membentuk persepsi publik bahwa daging babi adalah daging putih yang lebih ringan dan sehat daripada daging sapi. Namun, secara nutrisi dan struktur otot, klasifikasi ini menyesatkan.

Meskipun beberapa potongan daging babi memang lebih rendah lemak dibandingkan bagian daging sapi, secara teknis babi tetap masuk dalam kelompok daging merah. Kampanye ini lebih didasarkan pada kebutuhan komersial daripada akurasi ilmiah.

Nilai Gizi Daging Babi Dibandingkan Daging Lain

Dari sisi nutrisi, daging babi memiliki kandungan gizi yang sebanding dengan daging merah lainnya. Ia merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi, mengandung semua asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh.

Selain itu, daging jenis ini kaya akan vitamin B1 (tiamin), B6, dan B12, serta mengandung mineral penting seperti zat besi, seng, dan selenium.

Namun, seperti halnya daging merah lainnya, daging babi juga mengandung lemak jenuh dan kolesterol yang jika dikonsumsi berlebihan dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.

Komposisi lemak dalam daging babi sangat bervariasi tergantung pada jenis potongan dan metode pengolahan. Bagian seperti bacon dan pork belly mengandung lemak lebih tinggi, sementara tenderloin atau loin lebih ramping.

Oleh karena itu, cara konsumsi dan frekuensi makan memainkan peran penting dalam menilai apakah daging babi sehat atau tidak.

Perspektif Medis dan Rekomendasi Kesehatan

Dari sisi kesehatan masyarakat, daging merah termasuk babi sering dikaitkan dengan risiko meningkatnya penyakit jantung, diabetes tipe 2, dan kanker kolorektal jika dikonsumsi dalam jumlah besar.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui International Agency for Research on Cancer (IARC) mengkategorikan daging merah sebagai “kemungkinan karsinogenik bagi manusia” (kelompok 2A), sedangkan daging olahan seperti sosis, ham, dan bacon diklasifikasikan sebagai “karsinogenik” (kelompok 1).

Meski demikian, ini bukan berarti semua daging merah harus dihindari sepenuhnya. Ahli gizi umumnya menyarankan untuk membatasi konsumsi daging merah hingga 350–500 gram per minggu dan memilih potongan yang rendah lemak serta cara memasak yang sehat seperti merebus atau memanggang daripada menggoreng atau membakar secara langsung.

Persepsi Budaya dan Agama Terhadap Daging Babi

Selain diskusi ilmiah, daging babi juga menjadi simbol yang sangat kuat dalam budaya dan agama. Dalam Islam dan Yudaisme, daging jenis ini dianggap haram atau tidak suci, dan oleh karena itu dilarang dikonsumsi oleh penganut kedua agama tersebut. Larangan ini bersumber dari kitab suci seperti Al-Qur’an dan Taurat yang menyebutkan bahwa babi adalah binatang najis.

Di sisi lain, dalam banyak budaya Barat dan Timur, daging babi justru merupakan makanan pokok yang sangat populer. Di Tiongkok, misalnya, daging jenis ini merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi dan menjadi bagian dari identitas kuliner nasional.

Di Eropa, berbagai produk seperti ham, prosciutto, dan chorizo berbasis daging babi sangat umum dan bahkan menjadi warisan budaya.

Perbedaan budaya ini juga turut menciptakan perbedaan persepsi terhadap apakah daging jenis ini termasuk sehat, apakah diperbolehkan secara etika, dan bagaimana statusnya dibandingkan daging lainnya.

Dalam konteks masyarakat multikultural, penting untuk memahami bahwa definisi dan sikap terhadap daging babi tidak hanya ditentukan oleh sains, tetapi juga oleh nilai-nilai sosial dan kepercayaan pribadi.

Kepentingan Industri dan Politik Pangan

Klasifikasi daging babi juga memiliki implikasi besar terhadap industri pangan global. Label “daging putih” cenderung diasosiasikan dengan makanan sehat, sehingga produsen daging jenis ini sering berupaya untuk masuk ke dalam kategori tersebut guna menarik konsumen.

Bahkan, ada tekanan terhadap lembaga pengatur di beberapa negara untuk meninjau kembali definisi teknis demi keuntungan pasar.

Namun, klasifikasi yang keliru justru berisiko menyesatkan konsumen. Organisasi seperti USDA tetap mempertahankan daging babi sebagai daging merah dalam publikasi resmi mereka untuk menjaga konsistensi sains dan transparansi terhadap publik.

Hal ini penting terutama bagi konsumen yang mengatur pola makan untuk tujuan kesehatan atau diet medis tertentu, seperti penderita kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, atau penyakit autoimun.

Daging Babi dalam Dunia Kuliner Modern

Di dunia kuliner modern, daging babi sangat fleksibel dan digunakan dalam berbagai teknik memasak serta gaya masakan. Dari barbecue khas Amerika hingga ramen Jepang yang memakai chashu (daging perut babi rebus), daging babi menunjukkan kemampuannya dalam menyerap rasa dan menciptakan tekstur yang menarik.

Potongan daging seperti pork belly, ribs, tenderloin, dan ham semuanya memiliki karakteristik unik yang menjadikannya bahan favorit para koki.

Di sisi lain, dalam tren makanan sehat dan vegetarian yang meningkat saat ini, daging babi mengalami tantangan. Produk alternatif seperti daging berbasis nabati (plant-based meat) dan protein serangga mulai muncul sebagai pesaing karena dianggap lebih ramah lingkungan dan etis.

Namun demikian, daging babi tetap mempertahankan tempat penting di pasar global, terutama di negara-negara dengan konsumsi tinggi seperti Tiongkok, Jerman, dan Filipina.

Kesimpulan: Daging Babi Tetap Daging Merah

Setelah ditinjau dari berbagai perspektif — ilmiah, nutrisi, budaya, dan industri — dapat disimpulkan bahwa daging babi secara ilmiah dan teknis adalah daging merah, meskipun penampilannya kadang lebih terang dari sapi atau kambing.

Kandungan mioglobin yang menjadi penentu utama dalam klasifikasi daging menunjukkan bahwa babi memiliki komposisi lebih mirip dengan daging merah lain daripada dengan ayam atau ikan.

Kebingungan publik seringkali berasal dari persepsi visual, iklan pemasaran, dan perbedaan budaya yang mencampurkan antara makna ilmiah dan sosial. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih akurat dan edukatif mengenai klasifikasi daging sangat penting, terutama dalam konteks kesehatan dan keberlanjutan pangan.

Konsumen perlu mendapat informasi yang jujur dan berdasarkan sains agar bisa membuat pilihan makanan yang bijak dan sesuai kebutuhan.